Kamis, 07 Oktober 2010

Kapolri Rasa "Istana"

Febri Diansyah

Mampukah calon tunggal Kepala Kepolisian Negara RI yang diusulkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengembalikan kepercayaan publik soal pemberantasan korupsi?

Pertanyaan itu langsung muncul karena selama lima tahun berturut-turut Kepolisian Negara RI (Polri) masuk dalam salah satu institusi yang paling dipersepsikan korup dalam penelitian Global Corruption Barometer yang diselenggarakan Transparency International Indonesia (tahun 2003-2007). Bahkan, tahun 2009 Polri menjadi salah satu institusi yang paling banyak bersentuhan dengan suap.

Bisa dikatakan, kepolisian kita berada dalam kondisi akut dan darurat korupsi. Dengan demikian, pimpinan yang secara ekstrem mampu mengubah citra korup dan silang sengkarut seperti hari ini sangat dinantikan.

Presiden seharusnya tahu persis bagaimana kepolisian ditempatkan di jilid II kepemimpinannya. Apakah fokus pada penjagaan keamanan nasional, pemberantasan terorisme, penegakan HAM, atau pemberantasan korupsi?

Pada lima tahun pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Polri memang tidak disiapkan menjadi panglima pemberantasan korupsi. Apalagi tim kampanye SBY relatif berhasil mencitrakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai ikon pemberantasan korupsi SBY.

Pekerjaan rumah

Meski demikian, di sisi lain Polri dilihat publik sebagai wajah kontraproduktif terhadap pemberantasan korupsi. Dalam kasus Anggodo, misalnya, beberapa perwira Polri dinilai terlibat aktif dalam kriminalisasi dan pelemahan KPK.

Kita tak akan lupa bagaimana tuduhan terhadap Bibit-Chandra berubah dari waktu ke waktu dan penahanan dilakukan Polri saat kedua unsur pimpinan KPK itu mencoba bicara kebenaran kepada pers. Masyarakat melihat, Bibit-Chandra dikriminalisasi dan kasusnya direkayasa.

Publik tahu persis bagaimana sejumlah nama muncul dalam rekaman penyadapan pembicaraan Anggodo yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi.

Kemudian, temuan Tim 8 bentukan Presiden yang secara implisit mengatakan ada kekuatan di luar hukum yang memaksa kasus ini berjalan. Dugaan adanya rekayasa semakin menguat karena dalam persidangan Anggodo, klaim adanya rekaman pembicaraan yang menjadi salah satu bukti pimpinan KPK menerima suap ternyata tidak pernah ada. Bahkan Polri tidak bisa memenuhi perintah pengadilan untuk menghadirkan rekaman.

Berikutnya, Mabes Polri dihantam isu rekening gendut para perwira. Kesaksian mantan Kabareskrim Susno Duadji membuka dugaan keterlibatan sejumlah perwira dalam kasus mafia pajak Gayus Tambunan. Sayang sikap Mabes Polri sangat berseberangan dengan harapan publik. Susno justru dikriminalisasi dan kasus Gayus dilokalisasi hanya pada pelaku minor. Skandal rekening gendut berakhir dengan klarifikasi yang sama sekali tidak terang. Di tengah kondisi seperti itulah, pergantian Kepala Polri berlangsung.

Presiden SBY sebagai kepala pemerintahan seharusnya menyadari bahwa institusi Polri saat ini diserang badai besar ketidakpercayaan publik. Di sini, jika SBY mau, ia bisa mendulang simpati publik dengan memilih perwira Polri yang propemberantasan korupsi.

Kepercayaan publik di titik nadir seharusnya bisa menjadi modal politik Presiden untuk melawan arus Senayan yang cenderung menyandera penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Simak saja bagaimana masyarakat memersepsikan partai politik dan parlemen sebagai sektor terkorup selama lima tahun dengan nilai lebih buruk dari kepolisian.

Sayangnya, SBY tidak membaca potensi kekuatan untuk melawan Senayan secara cermat. Sepintas, Presiden lebih dikuasai kekhawatiran dan ketakutan ditolak oleh DPR. Maka, hal ini harus dicatat sebagai salah satu kegagalan awal dalam pemilihan pemimpin institusi penegak hukum, sekaligus bisa menjadi kegagalan panjang jika calon Kapolri yang terpilih tidak mampu membersihkan anasir korup dari tubuh institusi yang dipimpinnya.

Harapan publik

Jika Timur Pradopo terpilih menjadi Kapolri, seharusnya ia bisa melakukan beberapa hal signifikan untuk menghapus cita rasa ”istana” yang terlampau khawatir, takut, dan kompromistis itu.

Misalnya, hari ini publik sedang menyoroti rekayasa dan kriminalisasi pimpinan KPK. Jika Kapolri berani, ia sepatutnya memproses dan membuka bagaimana duduk perkara kasus pimpinan KPK yang dituduh menerima suap.

Kapolri baru juga wajib membantu menuntaskan kasus Gayus Tambunan, dengan membuktikan bahwa institusi yang dipimpinnya tidak menjadi tempat berlindung para penjahat.

Tentu saja, fakta persidangan yang mengatakan Gayus telah menerima sejumlah uang dari perusahaan yang lekat dengan partai politik tertentu juga tidak boleh disikapi dengan kompromi.

Namun, yang lebih penting adalah pembersihan ke dalam yang tetap menjadi harapan publik paling besar. Karena itulah, salah satu indikator komitmen pemberantasan korupsi Kapolri baru adalah keseriusannya menuntaskan kasus yang melibatkan anggotanya sendiri.

Timur Pradopo agaknya lebih diharapkan bersih-bersih lingkaran terdekat. Tanpa kompromi politik ala istana.

Febri Diansyah Peneliti Indonesia Corruption Watch; Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan