Senin, 04 Oktober 2010

Siapa Kapolri Baru? Timur Pradopo Calon Tunggal Kapolri


KOMPAS IMAGES/DHONI SETIAWAN
Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan (Kabaharkam) Polri Komjen Timur Pradopo usai mengikuti upacara serah terima jabatan (sertijab) di Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, Senin (4/10/2010). Dalam Sertijab ini terjadi perggantiaan jabatan di tubuh Polri yakni Kabaharkam, Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jawa Barat.

Surat Presiden mengenai calon kapolri pengganti Jenderal Bambang Hendarso Danuri akhirnya sampai di meja Ketua DPR Marzuki Alie pada Senin (4/10/2010) malam, pukul 19.20.

Dalam surat itu, Presiden SBY mengajukan Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Mabes Polri Komjen Timur Pradopo yang baru dimutasi dari jabatan Kapolda Metro Jaya pada hari ini sebagai calon kapolri.

"Memberhentikan Bapak Jenderal (Pol) Drs Bambang Hendarso Danuri, MM, karena akan memasuki masa pensiun pada 31 Oktober yang akan datang, dan mengangkat Komjen (Pol) Timur Pradopo sebagai calon kapolri," demikian Marzuki membacakan isi surat Presiden di ruang kerjanya di Gedung DPR, Jakarta.

Selanjutnya, surat Presiden ini akan dibacakan dalam Sidang Paripurna besok dan akan segera memerintahkan Komisi III DPR untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan.

Merindu Cadas Tandus Hadramaut


SAYA sudah berkali-kali ke Hadramaut, tapi selalu tumbuh rasa rindu untuk kembali ke sana. Ada rasa yang sulit diungkapkan, hati terasa tenang dan tenteram ketika berada di sana.” Di usianya yang menjelang 70 tahun, Abdurrahman Alaydrus masih menyimpan harapan untuk kembali ke negeri di selatan Jazirah Arab itu. Ia masih ingat tiap sudut yang pernah dikunjungi dan dapat bercerita detail ihwal kota dan masyarakatnya.

Sedemikian indahkah Hadramaut sehingga menjadi tempat yang begitu diidamkan oleh pria berusia senja itu? Jangan bayangkan sebuah lembah hijau yang dibelah sungai jernih dan dipagari pegunungan dengan pepohonan yang hijau dalam bekapan udara sejuk, tempat yang biasa diidamkan banyak orang untuk menghabiskan masa tua. Bukan pula kota yang ramah bagi penduduknya, dengan fasilitas umum yang memanjakan warganya. ”Itu daerah yang tertinggal 50 tahun dibanding Indonesia,” katanya.

Dari namanya, yang memuat kata ”maut”, daerah ini memang tidak ramah bagi kehidupan di lingkungannya. Kawasan itu terdiri atas lembahlembah tandus, yang terpisah oleh cadas- cadas yang membentuk daerah fl at (plateau) di atasnya, dengan ketinggian mencapai 1.500 meter di atas permukaan laut. Di Hadramaut—yang kini menjadi provinsi paling luas, meli puti hampir sepertiga Republik Yaman— suhu bisa menembus 40 derajat Celsius.

Ada sejumlah versi mengenai asal nama Hadramaut. Ada yang mengatakan nama ini disebut dalam Injil, Hazarmaveth, yang berarti pengadilan kematian. Yang paling populer adalah versi yang menyebutkan nama itu merupakan julukan seorang panglima perang, Amar bin Qahtan. Ia dijuluki hadhara (datang) dan maut (maut) karena bila ia datang ke medan perang, pasti banyak nyawa yang melayang di ujung pedangnya.

Dalam bukunya, Hadrami Awakening, peneliti asal Australia, Natalie Mobini Kesheh, menggambarkan Hadra maut sebagai daerah yang keras. ”Curah hujan amat rendah dan tidak teratur. Dua hujan deras akan menandai periode tahun yang baik karena bisa jadi hujan tidak akan turun sampai satu hingga dua tahun berikutnya.” Pertanian hanya mungkin dilakukan di daerah lembah yang memiliki mata air bawah tanah. Itu pun perlu pompa berbahan bakar solar untuk mengangkat air ke permukaan tanah.

Bagaimanapun ”angker”-nya Hadramaut, tak sedikit pun semangat Abdurrahman Alaydrus berkurang untuk berkunjung, bahkan menetap lebih lama. Bagi warga Condet, Jakarta Timur, ini, Hadramaut adalah tanah leluhurnya. Sebab, dia merupakan keturunan Ahmad Isa al-Muhajir—keturunan Nabi Muhammad—yang hijrah dari Basrah, Irak, pada abad ke-10 Masehi. ”Leluhur saya berasal dari Tarim di Hadramaut,” ujarnya.

Hadramaut yang ganas memang telah mendorong penghuninya merantau. Karena itu, dalam bukunya yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Orang Arab di Nusantara, penasihat pemerintah Hindia Belanda, Lodewijk Willem Christiaan van den Berg (1845-1927), menyebutkan para perantau Arab tersebut tak lebih dari sekelompok orang yang berusaha melepaskan diri dari impitan hidup di negeri asal mereka. Mereka merantau untuk mencari keuntungan ekonomi sebagai pedagang.

Itu pendapat yang dinilai sinis, karena sejumlah sejarawan menyebutkan para perantau tersebut, terutama dari golongan habib—keturunan Nabi—juga mengemban misi dakwah. Menurut Ali Yahya, yang pernah meneliti para habib di Indonesia, Wali Songo adalah keturunan habib. Ia juga mengatakan Indonesia merupakan tempat transit utama bagi para imigran yang akan melanjutkan perjalanan ke negeri lain di Asia Tenggara.

Lebih dari sekadar tanah leluhur, bagi Abdurrahman, Hadramaut adalah tempat Islam menjadi napas keseharian warga. Di tiap kota, yang jalan-jalannya sepi menjelang sore, masjid-masjid selalu penuh oleh jemaah. Semua berpakaian rapat, bahkan hanya menyisakan mata yang terbuka. Tentu ini juga karena hawa panas dan embusan pasir.

Malam Minggu Bersama Habib


  • Rohim, 19 tahun, dengan kopiah putih serta baju dan celana koko putih, mau menghabiskan malamnya bersama habib. Ia memang selalu ingin bersama habib, yang diyakini sebagai keturunan Rasulullah melalui putrinya, Fatimah az-Zahra, dan menantunya, Ali bin Abi Thalib. Di rumah, gambar sang habib yang berkacamata minus, berjubah, dan bersorban putih menghiasi pintu kamarnya. Di jalan, gambar habib yang sama menemani nya, melekat pada tangki bensin sepeda motornya.

    Senin malam terakhir sebelum Lebaran, dalam konvoi sepeda motor yang panjang, Rohim melesat cepat. Jaket hitam yang dikenakannya dengan sulaman benang emas Majelis Rasulullah pada punggungnya menyala di gelap malam. Duduk di belakangnya, Yakub, seorang anak tetangga sesama penduduk Jagakarsa yang masih seusia dengannya, memegang bendera hijau bertuliskan Majelis Rasulullah dalam aksara Arab.

    Jaket hitam, kopiah putih, dan bendera yang bergelombang gagah merupakan lambang identitas anak-anak muda yang melupakan hedonisme remajanya, seraya menghabiskan malam Selasa bersama habib. Dan harus diakui, ini juga merupakan simbol menyebalkan bagi pengemudi metromini dan ribuan komuter para penduduk Depok, Bogor, Cimanggis, dan sekitarnya yang telah lelah bekerja tapi harus berjuang menembus hiruk-pikuk jalanan ini.

    "Ngaji kok nyusahkan orang, dasaaar...," sopir metromini berlogat Jawa Timur memaki. Ia tak menyelesaikan kalimatnya, tapi meng injak gas dan rem silih berganti. Rohim, Yakub, dan kawan-kawannya tidak mengendarai sepeda motor secara ugal-ugalan. Tapi, seperti melihat pendukung kesebelasan lokal, Jakmania, yang bergerak berkelompok, sopir ini berusaha menghindari tiap benturan dengan anak-anak muda yang memacu sepeda motor sonder helm itu.

    Sang habib memang sosok populer. Gambarnya tampak di mana-mana: dari baliho yang mencolok berisi undangan pengajian di pinggir-pinggir jalan strategis, hingga dinding rumah penduduk yang bersembunyi di gang-gang sempit. Tidak memiliki majelis yang menetap awalnya, habib ini lalu mengandalkan sebuah masjid jami masjid yang biasa dipakai untuk sembahyang Jumat sebagai basis dakwah nya di Pancoran, Jakarta Selatan. Dan manakala pengikut majelis yang dibina sejak 1998 ini berkembang menjadi ribuan, puluhan, bahkan ratusan ribu orang, tidak bisa tidak terganggulah lalu lintas di daerah sepanjang masjid itu. Kendaraan padat merayap di jalan depan masjid, dua sisi, hingga satu kilometer. Area rumah toko di kanan-kiri masjid pun menjadi tempat parkir dadakan.

    Dia Habib Munzir bin Fuad al-Musawa. Usianya 37 tahun. Dakwah yang dulu dilakoninya secara bersahaja dari rumah ke rumah itu sekarang telah menjadi sebuah pohon besar yang bercabang banyak. Habib Munzir berceramah di sepanjang pantai utara dan pantai selatan Jawa, terus meluas ke Bali, Nusa Tenggara Barat, Papua, bahkan Singapura, Johor, dan Kuala Lumpur. Majelis Rasulullah sendiri mengisi acara bim bingan rohani di gedung-gedung perkantoran dan di stasiun-stasiun televisi. Sebuah kios didirikan persis di belakang Masjid Al-Munawar, menjual aneka aksesori Majelis Rasulullah.

    Belajar bahasa Arab dan kemudian syariah dari beberapa habib ternama yang menguasai bidang itu di Jakarta, Munzir mengikuti tradisi panjang para habib: belajar agama di Hadra maut. Hadramaut belakangan menjadi destinasi belajar agama yang memikat bagi para pelajar yang berasal dari Indonesia, karena Mekah sudah mengurangi jatah beasiswa bagi mahasiswa asing. Maka, di pesantren Darul Mustafa, Tarim, Hadramaut, di bawah bim bingan langsung Guru Besar Habib Umar bin Hafidz, ia mendalami ilmu fikih, tafsir Quran, ilmu hadis, sejarah, tauhid, tasawuf, dakwah, dan syariah.

Salah Ketik atawa Karena Ketahuan

PEMBAHASAN panjang dan alot mengenai pasal-pasal dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan akhirnya kelar juga pada Jumat sore, 11 September 2009. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat atas seluruh ketentuan umum, pasal, ayat, hingga penjelasan isi beleid yang diajukan parlemen sejak 2002 itu. Senin depannya, 14 September, RUU itu tinggal diketuk di sidang paripurna. Bergegas satu per satu para peserta rapat meninggalkan Gedung DPR. Waktu berbuka puasa segera tiba.

Tak seperti yang lain, Faiq Bahfen, Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan yang menjadi Ketua Tim Perundingan Rancangan Undang-Undang Kesehatan, justru ngiclik ke ruang pemimpin Komisi Kesehatan. Ia mengiringi Ketua Komisi Ribka Tjiptaning dari Fraksi PDI Perjuangan dan wakilnya, Asiyah Salekan, dari Fraksi Golkar. Karena azan terdengar, mereka pun menyeruput teh hangat dan kolak pisang yang disediakan sekretariat. Sembari berbuka mereka mengobrol tentang rapat yang baru selesai itu.

Tiba-tiba Ribka menyodorkan dua surat yang tergeletak di mejanya. Pengirimnya Bambang Sukarno, Ketua DPRD Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, dan Wisnu Broto, Ketua Asosiasi Petani Tembakau dan Cengkeh Jawa Tengah. Isi dua surat itu meminta DPR mencabut ayat 2 pasal 113, yang mengkategorikan rokok sebagai barang yang mengandung zat adiktif.

Kendati masing-masing tertanggal 4 dan 6 September, surat yang dikirim Bambang dan Wisnu baru saja tiba di meja Ribka. Bambang dan Wisnu mengancam akan mengerahkan massa jika ayat itu tetap disahkan dalam Rapat Paripurna DPR. "Para petani jelas rugi dengan keberadaan ayat itu," kata Wisnu kepada Sutarto dari Tempo.

Ribka, Asiyah, dan Faiq pun berembuk. Mereka sepakat menampung keberatan itu dengan mencabut ayat 2. "Pak Faiq yang mengonsep pencabutannya," kata Asiyah pekan lalu. Konsep pencabutan yang ditulis tangan itu lantas diparaf Ribka dan Asiyah. Intinya menyatakan pencabutan ayat 2 dan menggantinya dengan ayat 3. Asiyah lalu menelepon Mariani Akib Baramuli, koleganya di Golkar, untuk datang di ruangan pemimpin Komisi. "Saya cuma memaraf lalu pamit karena suami sakit," kata Mariani.

Mereka seakan berpacu dengan waktu. Semua urusan administrasi rancangan harus selesai malam itu juga. "Pak Faiq bolak-balik ke ruang sekretariat untuk menyempurnakan konsep akhir," kata Asiyah. Hanya, menurut Asiyah, untuk dibawa ke paripurna, perubahan itu mesti disetujui dulu oleh seluruh fraksi." Di ruang sekretariat, kata Asiyah, ikut sibuk Budi Sampoerna, Kepala Biro Hukum Kementerian Kesehatan.

Faiq kemudian menelepon Umar Wahid, Wakil Ketua Komisi dari Partai Kebangkitan Bangsa. Apa pun kata Umar, itu akan menentukan nasib keberatan Bambang dan Wisnu. Ditampung atawa diabaikan. Sial, telepon tak bersambung-sambung. "Saya sibuk menyiapkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Rumah Sakit," kata Umar. Baru esoknya, ia mengangkat telepon Faiq. Umar memberikan jawaban: ia tak setuju ayat 2 diamputasi.

Semua terlambat. Rupanya, Jumat malam itu Faiq meminta Tri Udiartiningrum, Kepala Bagian Sekretariat Komisi Kesehatan, menghapus ayat 2. File ini kemudian dikirim ke Sekretariat Negara untuk dicetak dan diteken Presiden. Maka kegegeran pun terjadi. Kalangan aktivis antirokok dan dokter menuding telah terjadi korupsi legislasi. "Ini skandal dan tidak bisa dibiarkan begitu saja," kata Hakim Sorimuda Pohan, bekas anggota Komisi Kesehatan dari Fraksi Demokrat. Bersama Kartono Mohamad, Hakim, yang kini bergabung dalam Koalisi Antikorupsi Ayat Tembakau (Kakar), mendesak polisi dan Komisi Pemberantasan Korupsi mengusut perkara ini.

l l l

HILANGNYA ayat rokok mencuat ketika Sekretariat Negara mengembalikan rancangan undang-undang itu ke DPR, sepekan setelah rapat paripurna. Hakim Sorimuda mengetahui ayat itu hilang saat akan mensosialisasinya ke pemerintah dan DPRD Kabupaten Tasikmalaya. "Saya ingat betul pasal 113 ini ada tiga ayat sampai rapat terakhir pembahasan," kata Hakim.

Dahinya makin bekernyit ketika menelisik lembar penjelasan. Di sana tersurat pasal itu terdiri atas tiga ayat. Ayat 1 dan 2 diberi keterangan "cukup jelas". Hanya ayat 3 yang mendapat penjelasan soal syarat penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif ditujukan untuk mencegah gangguan kesehatan masyarakat. Ke mana ayat 2 yang disebut cukup jelas itu?

Dalam rapat paripurna ayat itu memang masih ada. Satu jam sebelum rapat akbar itu digelar, Umar Wahid masih mencocokkan rancangan di laptopnya dengan salinan yang ia terima dari Departemen Kesehatan. "Masih sama," katanya.

Kartono Mohamad, yang menghadiri rapat paripurna, masih ingat ada seorang politikus Golkar yang memprotes masih adanya ayat rokok meski Mariani Baramuli telah selesai membacakan hasil pembahasan Komisi Kesehatan. Di luar gedung, tak terdengar riuh orang berdemo. Ancaman Bambang dan Wisnu ternyata hanya gertakan.

Umar, yang kemudian juga menemukan ayat itu hilang dalam rancangan yang dikembalikan Sekretariat Negara, mengajak Ketua Panitia Khusus RUU Kesehatan dan sekretariat komisi bertemu pada 9 Oktober 2009. Padahal sepekan sebelumnya mereka sudah tak lagi menjadi anggota DPR. Masa jabatan mereka, periode 2004-2009, sudah habis.

Dari keterangan-keterangan yang ia kumpulkan, Umar menyimpulkan hilangnya ayat itu hanya kekeliruan. "Rupanya, setelah saya menyatakan tak setuju, sekretariat tak mengembalikan lagi ayat yang sudah dihapus itu," katanya. Menurut dia, kesibukan membahas RUU Rumah Sakit membuat mereka alpa telah menghapus ayat itu di file komputer.

Ditemui Tempo, Tri Udiartiningrum menolak menjelaskan tak dikembalikannya ayat itu ke tempat semula. "Saya tak punya kewenangan menjelaskan soal ini," katanya. Saat diperiksa polisi, Tri mengaku perubahan didiktekan langsung oleh Faiq Bahfen dan Budi Sampoerna berdasarkan konsep yang diteken Ribka, Asiyah, dan Mariani. "Saya menerima kertas tulisan tangan itu dari Pak Faiq," katanya.

Budi tak menyangkal pertemuan itu. Ia bahkan mengaku mengedit ulang hasil final Panitia Khusus RUU Kesehatan, sesuatu yang, menurut Umar Wahid, mestinya tak boleh dilakukan setelah rapat berakhir. Soal ini, Budi memberikan alasan. "Itu hanya meneliti ulang dan membetulkan kata-kata yang salah, tak ada koreksi substansial," katanya. Saat diminta pendapatnya perihal penghilangan ayat itu, Budi mengatakan, "Melakukan sesuatu kalau tidak menjadi kenyataan kan tak apa-apa."

Ia merujuk pada kembalinya ayat rokok itu dalam beleid yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 13 Oktober 2009. Menurut Budi, kejadian-kejadian sebelum Rapat Paripurna DPR tak perlu dipersoalkan lagi karena toh ayat yang hilang sudah dikembalikan. Adapun Faiq Bahfen tak bisa dimintai konfirmasi tentang perannya seperti yang dikatakan sumber-sumber Tempo. Dihubungi berkali-kali, telepon selulernyanya tak diangkat. Permintaan wawancara yang dikirim ke telepon selularnyanya juga tak dibalas.

Menurut Umar, tak ada alasan bagi DPR menghilangkan ayat yang mengontrol peredaran rokok dan barang-barang yang mengandung zat adiktif itu. Sebab, ayat 2 itu justru inisiatif anggota Dewan. Awalnya rancangan tak memuat sama sekali soal pengaturan rokok. Kementerian Kesehatan juga tak memasukkan soal ini.

Ayat itu masuk di tengah-tengah pembahasan. Meski ada keberatan dan ditolak sejumlah anggota Dewan sendiri, ayat itu akhirnya disetujui masuk rancangan undang-undang. "Bu Ribka awalnya tak setuju karena konstituen PDI Perjuangan kan petani tembakau," kata Umar. "Tapi, karena semua setuju ayat itu masuk, dia ikut setuju." Karena sudah menjadi keputusan panitia khusus, Umar menolak ajakan Faiq Bahfen menyetujui penghilangan ayat itu sewaktu ditelepon. "Bagi saya, ayat itu harga mati, tak bisa ditawar," kata dokter spesialis paru-paru ini.

Menurut Hakim Sorimuda Pohan, pembahasan tentang pengaturan rokok berjalan sangat alot. Pembahasan bahkan sempat hampir mentok karena kubu yang setuju dan tak setuju bersikeras. Awalnya, pasal 113 terdiri atas lima ayat. Dua ayat lainnya mengatur hingga detail soal iklan dan gambar kerusakan organ tubuh akibat merokok yang harus ditempel di bungkus rokok. Tapi dua ayat terakhir ini akhirnya masuk kotak, didrop. Hakim dan anggota lain yang setuju tembakau dan turunannya diawasi mempertahankan ayat 2. "Kami tak ingin lagi kecolongan seperti pada 1992," katanya.

Syahdan, dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan Tahun 1992, pemerintah mengajukan pengaturan soal rokok. Tapi, dengan adanya lobi industri rokok yang gencar, aturan ini dipangkas. Lobi industri kepada DPR dan pemerintah tertuang dalam surat yang diajukan sebuah perusahaan rokok kepada kantor pusatnya di Amerika Serikat.

Surat itu menyampaikan kabar baik telah hilangnya ayat pengawasan rokok dalam beleid kesehatan. Juga munculnya berita-berita positif di media yang tak menyebutkan dampak negatif merokok. "Terima kasih atas briefing Anda kepada beberapa anggota Dewan di Jakarta," tulis surat itu. "Kami masih melobi pejabat di Kementerian Kesehatan serta Kementerian Pemuda dan Olahraga."

Industri rokok memang yang paling terkena dampak dengan ayat ini. Pengaturan distribusi memaksa perusahaan rokok tak mengiklankan produknya dan konsumennya dibatasi. Padahal, menurut survei AC Nielsen, jenis usaha yang paling gencar beriklan adalah pabrik rokok. Tahun lalu saja, dengan produksi 240 miliar batang rokok, nilai iklan yang digerojokkan produsen rokok mencapai Rp 1,5 triliun.

l l l

DATA dan pengalaman pada 1992 itulah yang membuat Hakim dan sejumlah LSM curiga hilangnya ayat rokok dalam Undang-Undang Kesehatan kali ini bukan sekadar masalah administrasi atau faktor "tak sengaja". Mereka menduga ayat itu sengaja dihilangkan karena lobi industri rokok.

Tapi tudingan ini dibantah para pengusaha rokok. Kepada majalah ini, misalnya, Direktur Komunikasi PT HM Sampoerna, Niken Rachmad, menyatakan perusahaan rokok tidak melakukan intervensi apa pun terhadap RUU Kesehatan. "Kami tidak pernah dilibatkan membahas RUU itu," katanya (Tempo, 25 Oktober 2009).

Selain sudah membawa kasus itu ke Badan Kehormatan DPR, Maret lalu, Koalisi Antikorupsi Ayat Tembakau melaporkan Ribka, Asiyah, dan Mariani Baramuli ke Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri. Koalisi menunjuk Ribka yang paling utama diperiksa dalam perkara ini. "Itu tindak pidana. Walau ayat itu sudah dikembalikan, bukan berarti kasus ini selesai," kata Koordinator Koalisi Kartono Mohamad. Koalisi mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi turun tangan menyigi adanya suap di balik "skandal ayat tembakau" itu.

Koalisi Antikorupsi juga mendapat dokumen perihal Ribka. Dalam dokumen tertanggal 24 Agustus 2010 itu disebut Ribka, juga Asiyah dan Mariani, sebagai tersangka. Tapi soal status tersangka ini dibantah Kepala Reserse Mabes Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi. Menurut dia, penyebutan "tersangka" hanya pada surat laporan perkembangan penyelidikan. "Kasus ini belum ada tersangkanya," kata Ito.

Koalisi menunjuk ayat itu jelas sengaja dihilangkan. Indikasinya adalah berita acara pengembalian ayat rokok pada 13 Oktober 2009 oleh pemimpin Komisi Kesehatan. "Dengan demikian, artinya pengembalian itu menunjukkan ayat ini pernah dihilangkan," kata Hakim.

Umar Wahid mengakui adanya berita acara itu. "Tapi saya tak ingat tanggalnya, yang jelas setelah 9 Oktober," katanya. Pada 9 Oktober itu Umar tengah membahas hilangnya ayat rokok dengan pimpinan Komisi dan Sekretariat. Pada tanggal itu juga Presiden meneken beleid itu.

Ribka Tjiptaning rupanya tak gentar menghadapi serangan Koalisi Antikorupsi. Jumat dua pekan lalu Ribka ganti mengadukan Kartono Mohamad dan Hakim ke polisi dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik.

Dihubungi Tempo sepanjang pekan lalu, Ribka mengaku tengah berada di Cina. "Tak cukup penjelasan lewat telepon," katanya. Dia tak menjawab pertanyaan tertulis majalah ini yang dikirim via SMS. Kamis dua pekan sebelumnya, dalam konferensi pers, Ribka menyangkal lenyapnya ayat itu dilakukan secara sengaja. Ayat itu, katanya, raib karena salah ketik. "Buktinya, saat rapat paripurna, ayat itu masih ada, dan sekarang juga masih ada," katanya.

Mungkin pertanyaannya, jika hilangnya ayat itu tak diributkan, apakah otomatis ayat itu bakal kembali.

LRB, Bagja Hidayat, Erwin Dariyanto

Kapolri Pastikan Ito Bukan Penggantinya

Kapolri Bambang Hendarso Danuri. TEMPO/Imam Sukamto

TEMPO Interaktif, Jakarta - Kepala Polri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri membantah kemungkinan adanya nama lain di luar dua nama calon Kapolri yang diajukannya yaitu Komisaris Jenderal Nanan Soekarna dan Imam Soedjarwo.

Penegasan itu disampaikan Bambang terkait beredarnya kabar masuknya nama Ito Sumardi sebagai nama lain yang masuk dalam bursa calon Kapolri. Nama Ito, kabarnya belakangan diusulkan oleh Kapolri."Oh nggak nggak, Kita sesuai sistem mengajukan dua, kalau ada yang muncul silahkan saja," katanya di Istana Negara, Jakarta 4 Oktober 2010.

Saat ini, kata Bambang, semua pihak sedang menunggu keputusan Presiden. Mabes Polri, katanya, mengajukan dua nama yang diajukan kepolisian, Nanan Sukarna dan Imam Sudjarwo. "Iya betul," tegasnya.

Ketika ditanya apakah kemunculan calon lain di luar yang direkomendasikan, Kapolri menjawab tidak boleh. " Sistem sudah menetapkan dua nama kan" ujarnya.

Nama Komjen Ito disebut-sebut telah dikirimkan Presiden pada 3 Oktober kemarin ke DPR. Meski kemudian Ketua DPR Marzukie Alie membantah dan menyatakan nama itu baru akan diserahkan Presiden, sore nanti.

EKO ARI

Istana Enggan Komentari Soal Ito Sumardi

Ito Sumardi. TEMPO/Imam Sukamto

TEMPO Interaktif, Jakarta - Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi enggan memberikan jawaban soal kabar yang beredar kalau Istana menyorongkan nama Kepala Bareskrim Mabes Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi sebagai calon Kapolri ke DPR. Nama Ito dinilai sebagai jalan tengah dari dua kandidat yang sebelumnya beredar yaitu Inspektur Pengawasan Umum Komisaris Jeneral Nanan Sukarna dan Kepala Pelatihan dan Pendidikan Polri Komisaris Jenderal Imam Sudjarwo.

"Saya tidak komen, mohon maaf saya tidak komen, yang jelas sebelum ke Belanda nama itu akan diajukan," kata Sudi usai Pelantikan Anggota KPU di Istana Negara, Senin (4/10).

Sudi mengatakan siapa saja nama yang akan disampaikan ke DPR segera diputuskan Presiden. "Kita tunggu saja dari beliau (Presiden)," kata Sudi. Dia juga tidak bisa memastikan penyerahan hari ini atau besok sebelum berangkat ke Belanda. "Sebelum ke Belanda. Bisa diserahkan sekarang bisa besok," ujarnya.

Sebelumnya, nama Ito Sumardi mencuat melalui akun twitter Pramono milik Pramono Anung Wakil Ketua DPR. Memang Pramono, tidak menyebut nama hanya memberikan petunjuk bahwa sang calon ini pernah menjabat Kapolwil Surabaya dan pernah bertugas di Sumatera selama dua kali.

EKO ARI WIBOWO

Negara Seakan Tidak Hadir

Negara seakan tidak hadir. Demikian penilaian Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, menggambarkan berlarut-larutnya berbagai kasus kekerasan di negeri ini. Penegakan hukum, yang diharapkan menjadi penyelesai konflik di masyarakat, justru memunculkan ketidakadilan.

Ketidakadilan itu bukan cuma terjadi pada perlakuan aparat penegak hukum kepada masyarakat dan penguasa/pengusaha, melainkan juga pada putusan pengadilan. Tidak sedikit rakyat kecil, yang terpaksa melakukan tindak pidana, dihukum lebih berat dibandingkan pelaku korupsi yang jelas merugikan negara.

Sosiolog hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII), Suparman Marzuki, dari Yogyakarta, Minggu (3/10), mengakui, maraknya kekerasan massa belakangan ini disebabkan akumulasi kekecewaan rakyat atas tidak berjalannya penegakan hukum formal. Orang lalu mencari jalan sendiri karena jalan hukum di negeri ini tak menyelesaikan persoalan. ”Jalan penyelesaian institusi penegakan hukum justru memunculkan masalah baru, ketidakadilan baru, kekerasan baru,” katanya.

Kekecewaan itu kian menumpuk karena selain mengalami ketidakadilan dalam bidang hukum, kata Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masdar Farid Mas’udi, rakyat juga didera kesulitan ekonomi. Tingkat pengangguran dan kemiskinan di negeri ini sampai kini masih tinggi. Masalah itu tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat, tetapi harus ada langkah nyata yang dilakukan pemerintah.

Bahkan, ketidakadilan itu semakin terasa jika sinyalemen dari Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto benar adanya. Saat berkunjung ke Redaksi Kompas, pekan lalu, Joyo memperkirakan 56 persen aset negeri ini dikuasai oleh hanya 0,2 persen penduduk. ”Data ini memang masih bisa dikaji lagi,” katanya saat itu.

Namun, BPN memang mencatat penguasaan petani terhadap lahan di negeri ini semakin merosot. Di sisi lain, ada 7,3 juta hektar tanah milik perusahaan yang justru ditelantarkan.

Kondisi ini, kata sosiolog William Chang, menimbulkan frustrasi sosial di masyarakat (Kompas, 1/10). Kondisinya kian memburuk karena penyelenggara negara bukan memperbaiki, malah berperilaku koruptif yang memperburuk keadaan.

”Pejabat publik yang koruptif, kotor, destruktif, dan tak memiliki komitmen memperjuangkan rakyat harus dicopot. Pemimpin harus tegas dan berani mengganti mereka dengan yang bersih, memiliki integritas, serta bersedia berkorban demi perbaikan bangsa,” imbuh William.

Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung mengakui, kekerasan yang terjadi belakangan ini disebabkan oleh keresahan di masyarakat. Faktor pemicunya amat beragam. ”Konflik tidak mungkin dihindari sehingga harus dikelola agar jangan sampai mengganggu sendi-sendi kehidupan bersama,” katanya.

Pertobatan elite

Mahfud mengaku heran kasus kekerasan di negeri ini bisa berlarut-larut. Ia mencontohkan sejumlah warga Ahmadiyah di Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang sampai kini masih mengungsi. ”Ini hak asasi orang. Bayangkan kalau Anda yang diperlakukan seperti itu, diusir dari rumah sendiri. Keluar takut. Seakan-akan negara tak ada di situ,” katanya.

Ia menduga berlarut-larutnya penanganan kekerasan di masyarakat dikarenakan tak adanya ketegasan aparat penegak hukum, padahal aturannya jelas.

Marzuki meminta pemerintah membenahi institusi penegakan hukum, seperti Kejaksaan dan Polri, serta kultur di dalamnya. Polri sebagai gerbang peradilan pidana masih didominasi kultur militeristik dan kekuasaan.

”Transformasi kultural polisi sangat lamban. Semua persoalan diatasi dengan kekerasan, dengan cara menangkap dan membungkam. Hal semacam ini harus dibenahi. Penyelesaian harus dengan memerhatikan konteks dan variabelnya,” katanya.

Sebaliknya, Masdar menilai penegakan hukum dan pertobatan elite dari perilaku yang melukai hati rakyat menjadi solusi jangka pendek yang harus segera dilakukan untuk mengatasi kekerasan akhir-akhir ini. Tanpa kedua hal itu, dikhawatirkan rakyat makin frustrasi sehingga kekerasan meluas dan sulit diatasi.

Menurut Masdar, akar kekerasan yang merebak akhir-akhir ini ada tiga hal, meliputi kesulitan ekonomi yang makin mengimpit rakyat, melemahnya keteladanan dari elite, serta penegakan hukum yang lemah.

”Ketika sebagian rakyat hidup susah, pada saat yang sama rakyat justru melihat banyak pejabat menyalahgunakan wewenang, korupsi, dan memperkaya dirinya, tanpa memerhatikan rakyat yang seharusnya dilayani. Ini diperparah dengan penegakan hukum yang lemah dan melukai rasa keadilan rakyat,” katanya.

Untuk mengatasi masalah itu, butuh usaha keras dari berbagai pihak dan waktu lama. Karena itu, yang paling bisa segera dilakukan adalah menindak tegas pelaku kerusuhan dan perubahan watak kepemimpinan di antara elite bangsa. Semua elite politik dan pemerintahan memperbaiki diri dengan pertobatan nasional.

”Semua pejabat publik harus beristigfar dan bertobat. Sadar hidup ini tak selamanya. Mereka harus menyadari, Tuhan yang mereka sebut-sebut dalam sumpah dan janji akan meminta pertanggungjawaban,” kata Masdar.

Ia mengingatkan lagi, ”Pejabat publik diberi kewenangan dan digaji oleh rakyat bukan untuk membohongi dan melukai hati rakyat. Mereka harus melindungi hak dan melayani rakyat.”

Senada, William pun mengatakan, ”Perlu dilakukan pembersihan total pejabat di tingkat pusat hingga daerah. Penduduk Indonesia lebih dari 230 juta jiwa dan banyak putra bangsa yang bersih dan memiliki integritas.”

Kesejahteraan rakyat

Ketua DPR Marzuki Alie mengajak pemerintah, dunia usaha, dan komponen bangsa lainnya bersama DPR dan lembaga lainnya mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat. Itu penting untuk mencegah terjadi frustrasi sosial di masyarakat dan menghilangkan kekerasan yang merebak selama ini.

Kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan dengan perbaikan ekonomi dengan penciptaan sebanyak-banyaknya lapangan kerja dan penegakan hukum. ”Sekarang adalah bagaimana mempercepat tercapainya kesejahteraan rakyat dengan mengatasi kemiskinan dan meminimalisasi pengangguran. Tak ada cara lain kecuali meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar-besarnya dengan diikuti pemerataan yang adil-adilnya,” kata Marzuki Alie.

Menurut Marzuki Alie, hal itu bukan hanya kewajiban pemerintah dan DPR, melainkan juga tanggung jawab dunia usaha dan masyarakat lainnya, apalagi selama ini masih banyak potensi bangsa, termasuk kaum muda, yang terabaikan. (ato/nwo/ana/har/why/tra)