Rabu, 06 Oktober 2010

Fatimah Binti Maimun, Muballigh Pertama Tanah Jawa

Tidak mustahil, pendakwah pertama di Nusantara adalah wanita. Kakeknya adalah pedagang dari Timur Tengah, diduga pernah membangun Masjid.

Bukti tertua kehadiran huruf Arab pada fase awal Islam di Nusantara ditemukan di sebuah makam di desa Leran, 8 Km utara kota Gersik Jawa Timur. Huruf itu terdapat pada Nisan Fatimah binti Maimun bin Hibatullah. Dia wafat pada hari Jumat 12 Rabiulawal 475 Hijriyah / 1082 Masehi.

Penanggalan itu menunjukkan nisan dipusara anak perempuan Maimun ini merupakan bukti tertua penggunaan tulisan Arab di Asia Tenggara. Demikian di tuliskan pada buku panduan pameran Budaya Islam di Aula Institut Agama Islam Negeri (IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta), pada tanggal 11-17 September 1995.

Inskripsi nisan Fatimah terdiri atas tujuh baris, di tulis dengan huruf Arab dengan gaya Kufi, salah satu ragam kaligrafi, dengan tata bahasa Arab yang baik. Nisan ini juga memuat ayat Al-Qur’an, antara lain surat Al-Rahman ayat 28-27 dan surat Ali Imron ayat 185.

Bersama nisan Maulana Malik Ibrahim, yang wafat pada 12 Rabiulawal 822 H / 8 April 1419 M, juga dimakamkan di Gresik, mengukuhkan pendapat bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui Persia dan Gujarat. Ada juga sarjana yang mengatakan batu nisan tersebut mirip kuil tembok Hindu di Gujarat.

Prof. DR. PA. Hoesien Djajadiningrat menyatakan, “Bukti agama Islam masuk ke Nusantara dari Iran (persia), ialah ejaan dalam tulisan Arab, baris di atas, di bawah, dan di depan disebut jabar, Jer dan Pes. Ini adalah bahasa Iran. Kalau menurut bahasa Arab, ejaannya adalah Fathah, Kasrah dan Dhammah. Begitu pula huruf Sin yang tidak bergigi, sedangkan huruf Sin dalam bahasa arab adalah bergigi, ini adalah salah satu bukti yang terang.”

Siapakah Fatimah binti Maimun? Ahli sejarah Cirebon abad ke 17, Wangsakerta, sebagai pangeran ketiga keraton pernah melakukan Gotrasawala (musyawarah kekeluargaan) ahli sejarah se Nusantara menelusuri silsilah para Syekh, guru agama dan Sultan keturunan Nabi Muhammad SAW yang menjadi tokoh penyebar agama Islam di Nusantara. Wangsakerta berdiskusi dengan Mahakawi sejarah dari Pasai, Jawa Timur, Cirebon, Arab, Kudus, dan Surabaya, serta ulama dari Cirebon dan Banten.

Hasilnya sebagai berikut: Rasulullah Muhammad SAW berputri Fatimah yang menikah dengan Ali bin Abi Thalib, berputra Husaian, berputra Zainal Abidin, yang menurunkan Muhammad Al-Baqir, bapak Ja’far Shadiq, berputra Ali Al-Uraidi, ayah Sulaiman Al-Basri, yang menetap di Persi, Sulaiman Abu Zain Al-Basri, yang menurunkan Ahmad Al-Baruni, ayah Sayyid Idris Al-Malik, yang berputra Muhammad Makdum Sidiq, yang terakhir ini adalah ayah Hibatullah, kakek Fatimah binti Maimun.

Masih menurut penelusuran itu, Fatimah menikah dengan Pria bernama Hassan yang berasal dari Arab bagian selatan.

Tentang Fatimah binti Maimun ini, pasangan peneliti H.J. de Graaf dan Th. Piqeaud menghubungkan-nya dengan tradisi Lisan Jawa, tentang putri Leran atau putri Dewi Swara. Dalam kaitan ini, kedua pakar Belanda ini juga menerima anggapan bahwa Gresik merupakan pusat tertua agama Islam di Jawa Timur.

Dengan demikian, tidak mustahil Fatimah binti Maimun itu pendakwah Islam pertama di Tanah Jawa, bahkan sangat boleh jadi di Nusantara. Namun ada penulis yang menyatakan, kakeknya pedagang dari Timur tengah, Hibatullah, menetap di Leran, dan menikah dengan wanita setempat, bahkan di duga sudah membangun masjid.

Apakah faktor kebetulan bila desa tempat Fatimah binti Maimun di makamkan itu bernama Leran? Tentu saja hal ini telah menjadi perbincangan para ahli sejarah sejak lama.

Cendikiawan Muslim Oemar Amin Hoesin, misalnya berpendapat, di Persia itu ada satu suku namanya “Leren”, suku inilah yang mungkin dahulu datang ke tanah Jawa, sebab di Giri ada kampung Leren juga namanya. Begitu pula, ada suku Jawi di Persia. Suku inilah yang mengajarkan huruf Arab yang terkenal di Jawa dengan huruf Pegon.

Dalam hal ini, Moh. Hari Soewarno mencatat, Leran sebenarnya nama suku di Iran. mungkin Fatimah berasal dari Parsi, sebab data itu bisa dibandingkan dengan data lain di Iran sendiri. Di sanapun terdapat desa yang namanya Jawi, sehingga dapat di tarik kesimpulan, pada abad ke ke 11 itu sudah ada lalu lintas dagang antara negeri kita dengan negeri Parsi. Peristiwa itu pasti terjadi berulang-ulang serta di mengerti banyak orang, baik di Jawa maupun di Iran.

Menurutnya, orang Parsi, yang datang ke Jawa merasa kerasan, lalu menetap. Sebaliknya orang Jawa yang merasa senang di Iran lalu menetap di sana dan menamai desanya Jawi – untuk menunjukkan perkampungan orang Jawa disana..

Jadi, dapat disimpulkan, Fatimah binti Maimun adalah orang Parsi yang menetap di Jawa (tepatnya di Gresik), lalu perkampungannya disana hingga sekarang terkenal sebagai desa Leran. Lebih jauh diketahui, di Kediri pada Abad ke 11 sudah banyak orang membuat rumah indah dengan genting warna-warni, kuning dan hijau. Gaya rumah demikian banyak kita jumpai di Parsi.

Apakah juga faktor kebetulan jika dari tanah Persia, Fatimah binti Maimun merantau ke pelabuhan Gresik, kemudian tinggal serta wafat dan dimakamkan di sana? Bersama nisan ulama Persia Maulana Malik Ibrahim, yang berangka tahun 882 H / 1419 M, sedang Nisan Fatimah yang berangka 475 H / 1082 M dilihat sebagai bukti bahwa pada waktu itu banyak orang Gresik yang telah menganut agama Islam. Bahkan sebelum kedatangan para Wali periode pertama, sudah banyak pedagang Islam di tanah Jawa. Mereka memilih daerah pelabuhan Gresik, yang saat itu sedang dalam kekuasaan kerajaan Majapahit, sebagai tempat tinggal mereka.

Bersama Tuban dan Jepara, pelabuhan Gresik sejak zaman Prabu Airlangga (1019-1041 M) bertahta, telah terjalin hubungan dagang dengan negara-negara manca. Di pantai Tuban banyak ditemukan kepingan uang emas dinar Arab bertarikh abad ke 9 – 10, yang menunjukkan bahwa lalu lintas niaga antara Jawa dan Timur Tengah sudah pesat.

Akan halnya kedudukan Gresik yang istimewa itu, ahli obat-obatan bangsa Portugal, Tom Pires, yang menyusuri utara pantai Jawa pada Maret sampai Juni 1513, mencatat dalam jurnalnya, “Mereka mulai berdagang di negeri itu dan bertambah kaya. Mereka berhasil membangun masjid dan Mullah, para ulama di datangkan dari Luar.”

Mengenai kemampuan melaut orang Jawa, Babat Tanah Jawi versi J.J. Meinnsma menggambarkan betapa kapal layar Jawa telah mengarungi samudra jauh sampai ke negeri Sophala di pantai Afrika Timur yang berhadapan dengan Madagaskar. Penjelajajahan itu terkait dengan kemajuan bidang industri pembuatan alat pertanian, seperti Cangkul dan sabit, serta alat persenjataan, yakni Keris yang bahan bakunya harus di cari sampai ke Afrika Timur. Itulah sebabnya, orang Jawa memberanikan diri berlayar ke Sophala dengan tujuan mencari bahan mentah besi yang ada di sana.

Akan tetapi ahli keris B.K.R.T. Hertog Djojonegoro menyatakan bahwa yang dicari jauh-jauh itu bukan hanya besi, melainkan juga batu metorit (watu lintang, batu bintang) sebagai bahan pamor atau “kesaktian” pada keris atau tombak. Pamor yang baik ada 111, antara lain berasal dari Gunung Uhud, di Arab Saudi, misalnya pamor “Subhanallah,, Alif dan Ahadiyat”, yang sangat besar kewibawaannya, serta pamor “Rahmatullahi.” Yang mendatangkan banyak rezeki.

Pengambilan pamor dari Gunung Uhud, menurut Hertog, menunujukkan bahwa suku bangsa Jawa khususnya dan bangsa Indonesia umumnya pada masa dahulu merupakan bangsa pelaut dan pedagang yang sudah mengunjungi tanah Arab dan sudah memiliki hubungan dagang dengan banyak negeri di kawasan Timur Tengah.

Diakui oleh bangsa asing melalui tulisannya bahwa dalam periode lama sebelum tarikh Masehi orang Indonesia merupakan bangsa pelaut, bahari dan pedagang ulung yang mencapai puncaknya pada zaman Sriwijaya, Syailendra, dan Majapahit. Kemudian masih berlangsung pada masa Demak dan Mataram di bawah Sultan Agung.

Keahlian membuat Keris hanyalah satu dari 10 ilmu asli yang dimiliki orang Jawa: Wayang, Gamelan, Metrik (cara dan alat penimbang), Batik, Logam (dan cara mengolahnya), sistem uang, ilmu pelayaran, Astronomi (ilmu perbintangan), penanaman Padi basah, dan sistem pemerintahan yang sangat teratur.

Rahmatan Lil 'Alamin

Prof Nanat Fatah Natsir

Suatu hari Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, "Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?'' Para sahabat pun menjawab, "Ya, Rasulullah, orang yang bangkrut adalah mereka yang tidak lagi mempunyai uang dan harta.''

"Bukan itu," jawab Rasulullah. "Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang pada hari kiamat membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun, mereka suka mencuri, menjelek-jelekkan orang lain, suka memakan harta orang lain (korupsi), menumpahkan darah, dan memukul orang lain tanpa hak.''

Dengan demikian, kata Rasulullah, pahala shalat, puasa, dan zakat orang itu dialihkan oleh Allah SWT kepada si anu, si anu, dan si anu, yaitu orang yang dicaci, dicuri hartanya, dan dibunuh. "Akan tetapi, pahala kebaikan orang yang pailit itu habis sebelum tertebus semua kejahatannya, sampai-sampai ganjaran kejahatan orang lain dibebankan kepadanya, lalu ia dilemparkan ke dalam neraka.'' (HR Muslim, tercantum dalam Mukasyafah al-Qulub: al-Muqarrib ila Hadhrah 'Allam al-Ghuyub fi 'ilm at-Tashawwuf).

Akhir-akhir ini, sebagian masyarakat Indonesia dihadapkan pada peristiwa-peristiwa kekerasan (terorisme), konflik horizontal, tawuran antarkelompok masyarakat, pencurian, korupsi, dan pembunuhan yang melanggar hukum. Semua kejadian itu tentunya mengarah pada terganggunya keselamatan dan keamanan masyarakat.

Sebagai agama rahmat bagi semesta alam, Islam tak membenarkan dan melarang semua tindakan tersebut. "Wamaa arsalnaaka illaa rahmatan lil 'alamin.'' (Dan tidaklah kami mengutusmu (Muhammad), melainkan menjadi rahmat bagi semesta alam). (QS Al-Anbiya [21]: 107).

Quraish Shihab mengemukakan bahwa redaksi ayat tersebut mencakup empat hal pokok. Pertama, rasul utusan Allah itu adalah Nabi Muhammad. Kedua, yang mengutusnya adalah Allah SWT. Ketiga, rasul itu diutus kepada mereka (al-'alamin). Keempat, risalah yang disampaikan mengisyaratkan sifat-sifat kedamaian dan kasih sayang yang mencakup semua waktu dan tempat.

Ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin itu mengandung makna bahwa kehadirannya memberikan rahmat kepada seluruh alam, termasuk di dalamnya lingkungan hidup, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan seluruh umat manusia tanpa membedakan agama, golongan, etnis, dan peradaban. Rasulullah SAW bersabda, "Khair an-naas 'anfa'uhum li an-naas.'' (Sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat bagi manusia lainnya).

Oleh karena itu, sebagai umat Islam, tentu kita tidak menginginkan seluruh amal ibadah yang dikerjakan selama menjadi bangkrut (tak bersisa) karena perbuatan menjelek-jelekkan orang lain, mencuri, membunuh, korupsi, berzina, dan lainnya. Kita diajarkan untuk menyayangi dan mengasihi sesama, apa pun latar belakangnya. Wallahu A'lam.

Abu Nawas dan Pesta Yahudi

Suatu hari Abu Nawas singgah di rumah kenalannya, seorang Yahudi. Di sana sedang berlangsung permainan musik. Banyak yang menonton sehingga susananya meriah. Semua tamu yang datang terlibat dalam permainan musik itu, termasuk Abu Nawas yang baru saja masuk, ada yang main kecapi, ada yang menari-nari, semua bersuka ria. Demikian asyiknya permainan itu sampai menguras tenaga, karena makan waktu cukup lama.

Dan ketika para tamu sudah pada kehausan, tuan rumah mengedarkan kopi kepada para hadirin. Masing-masing mendapat secangkir kopi. Ketika Abu Nawas hendak menghirup kopi itu, ia ditampar oleh si Yahudi. Namun karena larut dalam kegembiraan, hal itu tidak ia hiraukan, dan diangkatnya lagi cangkirnya, tapi lagi-lagi ia ditampar. Ternyata tamparan yang diterima Abu Nawas malam itu cukup banyak sampai acara selesai sekitar pukul dua dini hari.

Di jalan, baru terpikir oleh Abu Nawas, “Jahat benar perangai Yahudi itu, main tampar aja. Minumnya seperti binatang. Kelakuan seperti itu tidak boleh dibiarkan berlangsung di Bagdad. Tapi apa dayaku hendak melarangnya? Ah, ada satu akal.”

Esok harinya Abu Nawas menghadap Khalifah Harun Al-Rasyid di Istana. “Tuanku, ternyata di negeri tuan ini ada suatu permainan yang belum pernah hamba kenal, sangat aneh.”

“Di mana tempatnya?, tanya baginda Khalifah.

“Di tepi Hutan sana.” “Mari kita alihat,” ajak Baginda. “baik, Kata Abu Nawas. “Nanti malam kita pergi berdua saja, dan tuanku memakai pakaian santri.”

“Tapi ingat.” Kata Baginda, “Kamu jangan mempermainkan aku seperti dulu lagi.”

Setelah shalat Isya, berangkatlah baginda ke rumah Yahudi itu di temani Abu Nawas. Ketika sampai di sana kebetulan si Yahudi sedang asyik bermain musik bersama teman-temannya, maka baginda pun dipersilahkan duduk. Ketika diminta menari, baginda menolak, sehingga ia dipaksa dan ditampar pipinya kiri-kanan.

Sampai disitu Baginda baru sadar, ia telah dipermainkan Abu Nawas. Tapi apa daya, ia tidak mampu melawan orang sebanyak itu. Maka menarilah baginda sampai peluh membasahi badannya yang gemuk itu. Setelah itu barulah di edarkan kopi kepada semua tamu, melihat hal itu Abu Nawas keluar dari ruangan dengan alasan akan kencing, padahal ia langsung pulang.

“Biar baginda merasakan sendiri peristiwa itu, karena salahnya sendiri tidak pernah mengetahui keadaan rakyatnya dan hanya percaya kepada laporan para mentri, “Pikir Abu Nawas.”

Tatkala hendak mengangkat cangkir kopi ke mulutnya, baginda di tampar oleh Yahudi itu. Ketika ia hendak mengangkat lagi cangkir dengan piringnya, ia pun kena tampar lagi. Baginda diam saja, kemudian dilihatnya Yahudi itu minum seperti binatang: menghirup sambil ketawa-ketawa.

“Apa boleh buat,” pikir baginda, “Aku seorang diri, dan tak mungkin melawan Yahudi sebanyak itu.” Larut malam Baginda pulang ke Istana berjalan kaki seorang diri dengan hati yang amat dongkol. Ia merasa dipermainakan oleh Abu Nawas, dan dipermalukan didepan orang banyak. “Alangkah kasihan diriku,” gumamnya.

Pagi harinya, bagitu bangun tidur, Khalifah Harun Al-Rasyid memerintahkan seorang pelayan Istana untuk memanggil Abu Nawas.

“Hai Abu Nawas, baik sekali perbuatanmu malam tadi, terima kasih kamu masukkan aku ke rumah Yahudi itu dan kamu tinggal aku seorang diri, sementara aku dipermalukan seperti itu,” kata Baginda.

“Mohon ampun, ya Baginda,” jawab Abu Nawas. “Malam sebelumnya hamba telah mendapat perlakuan yang sama seperti itu. Apabila hal itu hamba laporkan secara jujur, pasti baginda tidak akan percaya. Maka hamba bawa baginda kesana agar mengetahui dengan mata kepala sendiri perilaku rakyat yang tidak senonoh seperti itu.”
Baginda tidak dapat membantah ucapan Abu Nawas, lalu disuruhnya beberpa pengawal memanggil si Yahudi.
“Hai, Yahudi, apa sebab kamu menampar aku tadi malam,” baginda bertanya dengan sengit. “darimana kamu memperoleh cara minum seperti hewan?”

“Ya tuanku Syah Alam …” jawab si Yahudi. “sesungguhnya hamba tidak tahu akan Duli Syah Alam, jika sekiranya hamba tahu, masa hamba berbuat seperti itu? Sebab itu hamba mohon ampun yang sebesar-besarnya.”

“Sekarang terimalah pembalasanku,” kata Baginda. Yahudi itu dimasukkan kedalam penjara. Dan sejak itu di haramkan orang bermain serta minum seperti binatang. Mereka yang melanggar larangan itu di hukum berat.

Sumer Akisah 13/19

Akibat Menoleransi Premanisme

Bentrokan yang meletup di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemarin merupakan akumulasi dari pelanggaran hukum yang dibiarkan. Kepolisian tidak menindak tegas aksi premanisme yang berkembang dalam masyarakat. Akibatnya, muncul sejumlah kelompok massa yang merasa kebal hukum dan bisa melakukan apa saja, termasuk membunuh.

Kita prihatin karena perilaku yang nekat seperti itu terjadi di ibu kota sebuah republik yang menjadikan hukum sebagai landasan kehidupan masyarakat dan negara. Pada siang bolong, dua kelompok massa dari dua suku berbeda berhadap-hadapan di jalan raya, persis di depan pengadilan. Mereka membawa berbagai senjata tajam, bahkan senjata api, lalu beraksi ala gangster dalam film-film Hollywood.

Dalam sekejap, korban pun berjatuhan dalam “perang” itu. Tiga orang tewas dan puluhan lainnya terluka. Sejumlah polisi yang berjaga-jaga di sekitar pengadilan seolah tak berdaya. Beberapa di antara mereka justru ditembaki--kendati tak sampai tewas--oleh salah satu dari kelompok yang bertikai. Masalahnya, mengingat aksi brutal seperti ini tentu tak muncul secara tiba-tiba, kenapa kepolisian tidak mengantisipasinya dengan pengamanan yang lebih ketat.

Kejadian itu jelas merupakan bagian dari rangkaian perkelahian sebelumnya yang terjadi di klub Blowfish, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, April lalu, yang menyebabkan tewasnya satu orang dari salah satu kelompok. Dua orang kemudian menjadi terdakwa kasus ini dan sedang menjalani sidang di pengadilan. Dalam sidang, friksi itu terus berlanjut dan terdakwa sempat dipukuli oleh kelompok orang yang berseberangan. Gesekan inilah yang kemudian memicu pertempuran di antara dua kelompok massa kemarin.

Memang benar kasus perkelahian di klub Blowfish diproses secara hukum. Tapi benarkah kepolisian telah bertindak adil dalam menangani perkara ini? Mengapa terdakwa dibiarkan dipukuli ketika menjalani sidang? “Perang” tak akan meletup andaikata kepolisian mengawal dan menangani kasus ini dengan hati-hati sekaligus adil.

Sebagian publik juga bertanya-tanya, kenapa penegak hukum seolah membiarkan munculnya kelompok yang merasa berkuasa dan bisa berbuat apa saja. Mereka bahkan memiliki pistol yang hanya bisa didapatkan lewat izin khusus dari kepolisian, kecuali jika diperoleh secara ilegal. Sudah menjadi rahasia umum, aksi premanisme sering dibiarkan, bahkan dipelihara oleh aparat untuk aneka kepentingan. Akibatnya, sejumlah kelompok massa merasa kebal hukum karena “dilindungi” oleh aparat.

Tiada cara lain, untuk mencegah terulangnya aksi brutal seperti yang terjadi di depan Pengadilan Jakarta Selatan, kepolisian mesti bertindak tegas. Semua pelaku yang terlibat dalam aksi ini mesti diproses hukum secara transparan sekaligus adil agar tidak memicu “perang” baru.

Kepolisian harus berani pula membasmi bibit-bibit premanisme sekecil apa pun. Memberi toleransi terhadap kegiatan mereka, apalagi mengayominya, sungguh berbahaya karena sama saja dengan menciptakan monster bagi masyarakat.

Jenderal Timung dari Jombang (1) Calon Kapolri itu Dulu "Klemak-klemek"


DULU DAN KINI - Jenderal Timung ketika latihan terjun payung semasa masih taruna (kiri), dan ketika menjadi Kapolda Jawa Barat.

Keluarga besar Komisaris Jenderal (Komjen) Timur Pradopo di Desa Gempollegundi, Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, sedang bergembira.

Dia tak segan makan nasi jagung, sarapan sega wadhang nasi sisa kemarin sebelum berangkat sekolah. Itu dilakukan tak hanya saat SD, tapi juga ketika sudah di SMP dan SMA.
-- Suwarti 77, tante Jenderal Timung

Itu menyusul keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencalonkannya sebagai Kepala Kepolisian RI, menggantikan Jenderal Bambang Hendarso Danuri.

Kerabatnya pun terkejut karena tak menduga Timur akan mencapai puncak karir sebagai polisi. Seluruh keluarga pun merasa bersyukur.

Mereka menilai, jika Timur betul-betul ditetapkan menjadi Kapolri, itu keputusan yang layak. Sebab, sosok Timur di keluarga besarnya merupakan teladan.

Selain bertanggung jawab, kepemimpinannya juga menonjol, selain sikap hidupnya pun tergolong sederhana.

Kesederhanaan ini tampak ketika wartawan SURYA menyambangi rumah keluarganya di Gempollegundi, tempat Timur menghabiskan masa kecil dan remajanya.

Kondisi rumah induk yang dulu ditempati kakek dan neneknya itu, mendiang Syaiun-Ti’ah, kondisinya jauh dari kesan mewah. Bahkan masih terkesan sebagai bangunan kuno.

Lantai rumah hanya bahan plester biasa, dengan dinding tembok dan genting usang. Rumah tersebut kini dihuni Suwarti (77), tante Timur, bersama dua anaknya yang sudah berkeluarga, Wilujeng (27) dan Andayani (29).

Adapun rumah orangtua Timur, Sigit Syaiun-Sriyati (79) berada di sebelah kiri rumah induk. Selain sederhana, juga terlihat tidak terawat.

Rumah yang dulu ditinggali Sigit-Suastri beserta tujuh anak —termasuk anak mbarep atau sulung, Timur Pradopo— itu sejak 10 tahun lalu memang tidak dihuni siapapun.

Sigit meninggal beberapa tahun lalu, dan dikebumikan di desa setempat, sedangkan Sriyati kini mukim di luar kota.

“Mbak Sriyati lebih sering tinggal di luar kota. Kadang-kadang di Jakarta, Bandung, Kota Jombang, Blitar. Dia tinggal di rumah anak-anaknya secara bergiliran,” kata Suwarti, Selasa (5/10/2010).

Suwarti mengenang Timur kecil sebagai anak pendiam. “Selain pendiam, dia juga klemak-klemek (lamban, tidak sigap). Tapi di sekolah, Timung (panggilan akrab Timur, Red) memang pintar,” ujar adik kandung almarhum Sigit, ayah Timur, ini.

Hanya, menurut Suwarti, kesederhanaan dan semangat Timur untuk maju memang luar biasa. Dengan kondisi ekonomi keluarga pas-pasan, ayahnya seorang guru dengan tanggungan tujuh anak, Timur tak pernah patah semangat untuk terus bersekolah.

“Dia tak segan makan nasi jagung, sarapan sega wadhang (nasi sisa kemarin) sebelum berangkat sekolah. Itu dilakukan tak hanya saat SD, tapi juga ketika sudah di SMP dan SMA,” imbuh Suwarti.

Setelah lulus SD di desanya, Timur meneruskan ke SMP Katolik dan SMA Katolik Kertosono, Nganjuk. Mengenai hobi Timur semasa kecil dan remaja, Suarsi teringat keponakannya itu suka membaca buku. “Dia juga suka sepak bola dan main tembak-tembakan bersama teman-temannya,” imbuh Suwarti. (Sutono)

Jenderal Timung dari Jombang (2-Habis)


Calon Kapolri yang Tak Pernah Berkelahi


JENDERAL TIMUNG - Komjen Timur Pradopo usai mengikuti perayaan HUT Ke-65 TNI di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa (5/10/2010) dan ketika masih taruna Akademi Kepolisian RI. Saat kecil, nama panggilannya Timung.


Komjen Pol Timur Pradopo memang jarang pulang ke kampung halamannya di Gempollegundi, di Desa Gempollegundi, Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

Jombang memang melahirkan banyak tokoh nasional sejak lama. Sebut saja nama yang beken ini: KH Abdurrahman Wahid bin KH Hasyim Ashyari bin KH Hasyim Asy'arie. Ketiganya sama-sama punya peran penting pada masanya masing-masing. Ada pula cendekiawan Prof Nurcholish Madjid dan Emha Ainun Nadjib yang juga dari Jombang.

Kini, Jenderal Timung, panggilan akrabnya, dari Jombang jadi pilihan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjadi calon Kepala Polri.

Meski jarang pulang kampung, Timung sering berkomunikasi dengan kerabatnya di Gempollegundi. Timung disebutkan sering menghubungi kerabatnya melalui telepon seluler.

“Sejak sekitar 10 tahun lalu, sejak ibu Timung tidak tinggal di sini, sejak itu pula Timung jarang ke sini. Kalau pun ke sini, paling hanya nyekar ke makam ayahnya,“ ujar Wilujeng, anak Suwarti (77), tante Timung, kepada wartawan SURYA, Selasa (6/20/2010).

Sedangkan Slamet Sutrisno (56), teman sekolah Timur Pradopo di SDN Gempolegundi dan SMP Katolik Kertosono, menuturkan, selain pendiam dan pandai di sekolah, Timung juga anak yang patuh kepada orangtua.

Tentang jiwa kepemimpinan Timung, Slamet mengaku tercermin dari sikapnya ketika menghadap teman-temannya yang nakal dan suka berantem.

Menurut Slamet, kendati usia Timung paling muda ketimbang teman-teman sekelasnya, kalau ada teman yang berantem justru dia mendamaikan. “Dia sendiri tidak pernah sekalipun berkelahi,” kata Slamet.

Hal mengesankan dan tidak bisa terlupakan, tambah Slamet, Timur Pradopo sering kali sarapan dengan nasi wadhang atau nasi sisa kemarin.

Subhanallah, Mas Timung itu sering kali makan nasi wadhang dengan bikin sambal sendiri. Dan sekolahnya pun tidak pakai sangu. Padahal ngayuh sepeda jelek ke Kertosono. Itu setiap hari dilakukan bersama saya,“ kata Slamet.

Keterbatasan seperti dialami Timung muda merupakan hal biasa bagi anak-anak dari keluarga kebanyakan di Indonesia. Mereka terbiasa hidup susah, tetapi banyak juga yang justru terpacu untuk menjadi lebih baik.

Lain lagi kisah sepupu Timur Pradopo, Kemal Pasha. Menurut dia, Timur merupakan sosok sangat bertanggung jawab.

Salah satu contoh, kata Kemal, demi membesarkan keenam adiknya, Timur sampai menunda perkawinannya sendiri. “Itu sungguh cermin tanggung jawab dan pengorban luar biasa,” kata pegawai negeri sipil (PNS) di Dishubkom Pemkab Jombang. (Sutono)