Senin, 18 Oktober 2010
Minggu, 17 Oktober 2010
Aida: Cukup Saya Saja yang Jadi Korban KH Zainuddin MZ
Kini, Aida muncul lagi dan mengaku memiliki hubungan terlarang dengan kiai kondang, KH Zainuddin MZ. Perkenalan Aida dengan da'i sejuta umat itu bermula pada saat dia mengisi acara organ tunggal di Bogor. Waktu itu, Aida masih belia, baru duduk di bangku kelas 1 SMA. Usai acara organ tunggal, wanita yang berprofesi penyanyi dangdut ini ditawari makan bersama oleh KH Zainuddin.
Tak sampai disitu. Usai makan bersama, keduanya pun saling bertukar nomor telepon Setelah bertukar nomor telepon, pertemuan pun berlanjut. KH Zainuddin sering menyempatkan bertandang ke rumah Aida yang masih tinggal dengan orangtuanya di Bogor. Keduanya menjadi sangat dekat. Hubungan terlarang itu berlangsung selama satu tahun lebih.
"Beliau sempat melamar saya dan berbicara kepada orangtua saya untuk meminta saya menjadi istrinya. Beliau ingin menikahi saya di Makkah," ungkap Aida.
Namun, lamaran yang diajukan Zainuddin ditolak karena perempuan kelahiran 1985 ini masih ingin menimba ilmu.
"Di saat beliau melamar, aku tolak karena masih ingin fokus sekolah dan karir. Apalagi, aku tidak mau mengganggu orang yang sudah berumah tangga," bebernya.
Setelah sembilan tahun berbohong dan menutupi hubungannya dengan Zainuddin MZ, pada Selasa (5/10) di hadapan beberapa media, Aida membeberkan hubungannya dengan Kiai yang pernah aktif di Partai Bintang Reformasi.
Aida mengaku mempunyai hubungan spesial dengan da'i yang populer dengan sebutan 'da'i sejuta umat' itu. Meski Aida mengaku tak pernah menikah dengannya.
"Satu hal yang membuat saya tidak bisa membuka mulut, karena permitaan Pak Zainuddin. Mohon maaf selama ini saya sudah berbohong. Tapi sejujurnya saya sangat tertekan selama ini," kata Aida.
"Aku menjalani hubungan itu karena keterpaksaan. Saya merasa tidak enak, dan sangat terpaksa menjalaninya," kata Aida sambil menutupi rahasia.
Namun dari pernyataan Aida bisa disimpulkan, bahwa ia terpaksa menjalani hubungan itu bersama Zainuddin MZ karena merasa memiliki utang budi dengan da’i tersebut. Karena faktanya, selama Zainuddin MZ mendekati Aida, Zainuddin berusaha mendekati keluarga Aida.
"Ayah aku menjadi ketua pengurus partai PBR cabang Bogor. Beliau juga sempat dekat dengan kakek aku. Sebelum kakek meninggal, almarhum sempat menyebut-nyebut nama Pak Zainuddin," kata Aida.
Aida belum mau membeberkan secara jelas, apa motif dibalik pernyataannya itu. Karena, Aida dengan Zainuddin MZ belum pernah melakukan pernikahan. Aida mengatakan, ia hanya ingin jangan sampai ada korban lagi seperti dirinya.
"Sekarang beliau kan terekspos lagi di media, banyak ceramah-cemarah di teve. Saya tidak ingin ada Aida-aida lainnya dan jangan tertipu dengan kharima beliau. Saya juga mau Pak Zainuddin jujur. Beliau kan orang yang sangat tahu agama, beliau juga pastinya tahu hukumnya orang berbohong," bebernya. [rry/zul]
Sibuk Dakwah, KH Zainuddin MZ Batalkan Buka-bukaan Soal Aida
"Tidak ada mas (jumpa pers). KH Zainuddin MZ masih sibuk dakwah," ujar sahabat Zainuddin, Habib Mahdi, Jumat (15/10).
Padahal sebelumnya, Hafiz Syahnara dari Forum Solidaritas Ulama mengatakan KH Zainuddin MZ akan blak-blakan mengklarifikasi tudingan pemerkosaan oleh pedangdut Aida Saskia itu pada kemarin sore.
Habib Mahdi melanjutkan, KH Zainuddin MZ tidak ingin memperkeruh perseteruannya dengan pelantun 'Ayam Jago' itu. Habib Mahdi adalah salah seorang ulama yang tergabung dalam tim mediasi antara Aida dan KH Zainuddin MZ.
"Dari kiai ada statement sumpah demi Allah bahwa ia tidak melakukan, tinggal (nunggu) dari Aida yang punya niat baik duduk bareng," tambahnya.
Mahdi mengaku bingung dengan berita yang menyebutkan Sang Kiai akan menggelar konferensi pers untuk meluruskan isu tersebut. "Itu dia, saya juga tidak tahu," kata Mahdi.
Tak ayal, Hafiz Syahnara dinilai plin-plan. Pasalnya, pada jumpa pers yang digelarnya pada Rabu, (13/10), di Hotel Atlet Century, Jakarta, dia mengatakan, Zainuddin akan jumpa pers dengan wartawan pada hari Jumat. Pada jumpa pers itu, Hafiz juga merilis hasil investigasi yang dilakukan beberapa ulama yang tergabung dalam FSU. Dalam rilis itu juga disebutkan bahwa sejumlah ulama tergabung dalam tim itu.
Tim investigasi terdiri atas KH Soleh Mahmud, Habib Mahdi Bin Syech Al Attas, KH Zuhri Yacob, KH Yusuf Mansyur, dan H.M Hafiz Syahnara. Sejumlah nama ulama kondang juga masuk dalam barisan FSU ini. Sebut saja Ustad Jefri Al Bukhori, Ustad Yusuf Mansyur dan Habib Selon yang juga ketua FPI Jakarta.
Namun, Ustad Yusuf Mansyur menyangkal terlibat dalam tim investigasi itu. Malah, Ustad Yusuf merasa namanya dicatut. Dikonfirmasi soal ini, Hafiz tak mau berkomentar.
Sabtu, 16 Oktober 2010
Kopor Jamaah Haji Banyak yang Rusak
SOLO–Kopor jamaah haji yang diturunkan truk pengangkut dari daerah asal jamaah calon haji ketika sampai di asrama haji banyak yang dalam kondisi rusak, seperti sobek pada jahitan, resleting yang jebol.
Kondisi kopor semacam itu jelas merugikan jamaah karena barang bawaan mereka bisa-bisa tercecer keluar, padahal barang-barang tersebut merupakan bekal saat mereka tinggal di Tanah Suci selama hampir 40 hari.
Mengingat, pihak penerbangan hanya mengijinkan kopor yang boleh dipakai berlabel garuda sehingga jamaah terpaksa tetap menggunakan kopor yang sudah dalam kondisi sobek, meski harus dilekatkan dengan menggunakan lakban.
Kepala Kantor Kemenag Kab Brebes Drs. H. Labib Mughni juga mengeluhkan hal yang sama ketika menerima kopor dari Semarang. Dia berharap kopor bantuan dari Garuda yang rusak dapat disiapkan penggantinya “Minimal saat tiba di asrama haji Donohudan Boyolali,” harap Labib.
Sementara itu, dua jamaah calon haji Masfiah binti Abdurrochman (62) yang diturunkan di bandara Hang Nadim Batam lantaran sakit bersama suami Noor Cholis bin H Nur (63) sudah dapat meneruskan perjalanannya menuju tanah suci setelah diterbangkan kembali bersama kloter 12 Jumat malam (15/10) lalu.
Hingga hari ketiga masa pemberangkatan jamaah calon haji melalui bandara Adisumarmo, PPIH embarkasi Solo telah menerbangkan12 kloter dengan 4.531 calhaj.
mch/taufik rachman
Jumat, 15 Oktober 2010
Suka Kentuti Orang, Remaja Lumajang Dibunuh Temannya
TEMPO Interaktif, Lumajang - Jefri Hananta, 20 tahun, , Kamis (14/10) ini menjalani pemeriksaan aparat Kepolisian Sektor Jatiroto setelah melakukan pembunuhan terhadap Ribut Jupriyanto, 17 tahun, pada Rabu (13/10) tadi malam.
Motif pembunuhan adalah karena warga Dusun Krajan, Desa Jatiroto, Kecamatan Jatiroto, itu emosi lantaran korban, warga Perumnas Blok I/24 Dusun Krajan, Desa Jatiroto, Kecamatan Jatiroto, Kabupaten Lumajang, sering secara sengaja kentut di mukanya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Tempo, aksi penganiayaan hingga mengakibatkan korban meninggal dunia itu terjadi di Dusun Krajan, tepatnya di sebuah kebun rambutan. Polisi menyita sejumlah barang bukti, antara lain sebilah pisau tanpa gagang, baju korban, senapan angin serta sepasang sandal jepit.
Kejadian itu bermula ketika tersangka bermain remi di depan rumahnya. Permainan remi tersebut diwarnai saling ejek dan saling olok. Tak lama kemudian, korban yang berada di lokasi itu mengajak pelaku untuk mencari codot di kebun rambutan.
Sekitar 100 meter masuk ke dalam kebun rambutan, pelaku tiba-tiba menikam punggung serta dada korban. Terhitung ada sembilan luka tusuk yang dialami korban. Mengetahui korban jatuh tidak berdaya, pelaku berteriak minta tolong serta membawa korban ke Rumah Sakit PG Jatiroto dengan dalih korban ditusuk oleh pencuri rambutan.
Tak lama setelah menjalani perawatan di rumah sakit, korban meninggal dunia. Polisi yang mendengar laporan kejadia ini langsung melakukan olah tempat kejadian perkara. Belakangan kemudian diketahui kalau ternyata pelaku yang menikam korban dengan pisau.
Di hadapan penyidik, pelaku mengakui kalau dirinya yang melakukan penganiayaan hingga membuat korban meninggal dunia. “Saya jengkel karena dia sering kentuti saya dan mengejek saya,” kata pelaku di hadapan penyidik.
Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Lumajang Ajun Komisaris Kusmindar mengatakan tersangka dikenakan pasal berlapis yakni pasal 351 ayat 3 KUHP dan pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.
Sementara itu, Kepala Kepolisian Sektor Jatiroto Ajun Komisaris Mochamad Toha mengatakan pelaku saat ini ditahan di Mapolsek Jatiroto. “Terus kami lakukan pemeriksaan terhadap tersangka,” katanya.
Toha mengatakan, korban sehari-harinya adalah seorang buruh lepas dan kadang mengamen. Sementara pelaku adalah seorang buruh lepas. Toha juga mengatakan kalau dari keterangan pelaku diketahui kalau ternyata pelaku pernah terlibat kasus pencurian kendaraan bermotor dan jambret hingga pernah dihukum dua kali.
DAVID PRIYASIDHARTACut Tari Dijerat dengan Undang-Undang Darurat
Ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Hotman mengatakan, penyidik dan jaksa menyerah lantaran tidak dapat menentukan dimana lokasi video mesum Cut Tari dengan Nazriel Irham itu dibuat. "Jaksa enggak mau P21 karena tempatnya enggak ketahuan," ujarnya.
Kata Hotman, Cut Tari dan Ariel tak mengingat tempat kejadian itu. "Kalau Cut Tari ingat 'main'nya, tapi gak egngat tempatnya, kalau Ariel enggak ingat 'main' dan tempatnya," ujar Hotman yang disambut gelak tawa wartawan.
Ia mengaku heran dengan dakwaan yang ditujukan kepada kliennya. Ia mengatakan pasal yang digunakan penyidik sangat umum. "Bunyinya, bahwa seseorang bisa dihukum pidana jika dianggap oleh hukum adat itu tindak pidana," ujarnya.
Menurut Hotman Undang-Undang Darurat itu seharusnya tidak lagi berlaku. Alasannya, "Dalam pertimbangannya nanti ditulis Undang-Undang Dasar Sementara, sekarang kan kita pakai UUD 1945," ujarnya.
Hotman menduga penggunaan pasal itu dikarenakan bisikan jaksa yang jengah dengan berkas perkara yang tidak rampung-rampung.
Video mesum Cut Tari dan Ariel Peterpan ini sempat heboh beberapa waktu lalu. Dalam video yang beredar luas itu, kedua insan itu terlihat melakukan perbuatan layaknya suami istri.
Hotman menambahkan, selain dijerat Undang-Undang Darurat, Cut Tari juga dijerat dengan pasal 282 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pemilik nama panjang Cut Tari Aminah Anasya bin Joeransyah ini pun terancam hukuman yang cukup berat. "Tiga bulan hingga sembilan tahun," ujarnya. "Kemungkinan Ariel dan Luna Maya juga kena pasal itu."
Perjalanan Hidup Aida Saskia & Isu Selingkuh Pak Kyai
TEMPO Interaktif, Jakarta - Nama Aida Saskia mendadak menjadi buah bibir. Perempuan 25 tahun ini mengklaim sempat menjalin hubungan asmara dengan da'i sejuta umat Zainuddin MZ. Aida juga menuntut Zainuddin MZ mengakui pernah berhubungan intim dengannya di depan publik serta meminta maaf.
"Saya ingin memberikan pelajaran buat beliau, agar sesuai dengan isi ceramahnya," kata Aida Saskia usai menonton film Rintihan Kuntilanak Perawan di Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (12/10) malam.
Siapa Aida? Dia adalah penyanyi dangdut yang melantunkan lagu Ayam Jago. Aida, lahir dan besar di Bogor, Jawa Barat. Cewek kelahiran 6 Juli 1985 itu bersekolah di SMPN 1 Mega Mendung, Cisarua, Bogor. Ia kemudian melanjutkan ke SMA Yayasan Zaelani Al Mansyur di kawasan Cisarua.
Anak pertama empat bersaudara itu sejak duduk di bangku sekolah dasar menekuni dunia tarik suara. Saat sekolah menengah pertama, Aida sempat menjalani rekaman lagu bergenre pop. Namun ia kemudian pindah ke jalur dangdut. Ketika baru masuk SMA, Aida menjalani rekaman lagu dangdut. Namun saat itu kurang sukses. Ia kemudian masuk ke perusahaan rekaman Selecta Record.
Selain menjadi penyanyi dangdut, Aida juga pernah main sinetron dan membintangi sejumlah iklan seperti iklan permen, motor dan pembersih wajah. Aida mengaku cukup sering tampil di layar kaca. Ia biasanya diminta menyanyi di sejumlah acara di sebuah stasiun televisi seperti 'Gerebek Pasar' dan 'Dangdut Never Dies'.
Menurut pengacara Aida, Alamsyah Hanafiah, kliennya mengenal Zainuddin saat berusia 16 tahun. Ayah Aida sebenarnya adalah teman Zainuddin di organisasi yang mereka tekuni bersama. "Sehingga Zainuddin menemui Aida selalu atas sepengetahuan orang tuanya. Ada sebuah rumah makan yang menjadi langganan Zainuddin, ketika dia melakukan pendekatan ke Aida," kata Alamsyah.
Zainuddin MZ membantah pengakuan sepihak Aida ini. Namun, dia sempat menghilang dari kejaran pers. Dihubungi lewat telepon Zainudin juga tak menjawab. "Sudah sekitar seminggu ini Pak Kyai tidak ada di rumah," kata Yono, penjual bakso keliling yang biasa mangkal di depan rumah KH Zainuddin MZ, Gandaria, Jakarta Selatan, Selasa, (12/10). (Baca: Zainuddin MZ Bersumpah Tak Pernah Berbuat ...)
Padahal, sebelum tersangkut skandal tersebut, sehari-hari Zainuddin dikenal sebagai pribadi yang terbuka. Menurut pedagang yang sudah tiga tahun berjualan baso di depan rumah KH Zainuddin MZ itu, mantan ketua Partai Bintang Reformasi hampir setiap sore bercengkrama dengan warga sekitar rumah. "Pak Kyai biasa melakukan apa saja dengan warga. Bercanda-candaan," tutur Yono.
Bahkan, Yono melanjutkan, Zainuddin termasuk penggemar baso jualannya. "Pak Kyai juga paling senang dengan bakso saya," ujar pedagang asal Wonogiri yang merantau di Jakarta sejak 35 tahun silam.
Berdasarkan pantauan Tempo, rumah Zainuddin terlihat sepi. Pintu gerbang rumah ditutup. Dari celah-celah pintu, terlihat tiga sedan terparkir di garasi. beberapa penjaga tampak duduk-duduk di belakang pintu. "Rumah sepi. Istri Pak Kyai juga tidak ada," kata penjaga rumah Zainuddin.
MUSTHOLIH | ANGIOLA
Kisruh Aida-Zainuddin MZ Bermula dari Kasus Video Ariel
Jakarta - Penyanyi dangdut Aida Zaskia membuat pengakuan menggegerkan pekan lalu. Ia mengaku menjadi korban tindakan asusila Da'i Sejuta Umat Zainuddin MZ. Alasan Aida mengungkapkan itu: ceramah Zainuddin soal perbuatan perkosaan terkait kasus video Nazril Irham alias Ariel eks-Peterpan dengan Luna Maya serta Cut Tari.
Aida adalah penyanyi dangdut yang melantunkan lagu Ayam Jago. Dia lahir dan besar di Bogor, Jawa Barat. Cewek kelahiran 6 Juli 1985 itu bersekolah di SMPN 1 Mega Mendung, Cisarua, Bogor. Ia kemudian melanjutkan ke SMA Yayasan Zaelani Al Mansyur di kawasan Cisarua.
Anak pertama empat bersaudara itu sejak duduk di bangku sekolah dasar menekuni dunia tarik suara. Saat sekolah menengah pertama, Aida sempat menjalani rekaman lagu bergenre pop. Namun ia kemudian pindah ke jalur dangdut. Ketika baru masuk SMA, Aida menjalani rekaman lagu dangdut. Namun saat itu kurang sukses. Ia kemudian masuk ke perusahaan rekaman Selecta Record.
KRONOLOGI KISRUH AIDA-ZAINUDDIN
* Pada 7 Oktober 2010, Aida Zaskia menggelar konferensi pers di Restoran Hayam Wuruk, Tebet, Jakarta Selatan. Dalam jumpa pers tersebut, wanita 25 tahun itu mengaku sebagai mantan pacar Da'i Sejuta Umat Zainuddin MZ. Padahal, Zainuddin sudah memiliki istri. Bahkan, Aida mengaku pernah dilamar Zainuddin.
Mengenai alasan Aida membuka aib tersebut, pengacara Aida, Alamsyah Hanafiah, mengatakan kepada Tempo, "Pak Zainuddin berceramah soal kejinya perbuatan perkosaan, yang saat itu sedang marak pembicaraan kasus Ariel, Luna, dan Cut Tari. Di situlah hati Aida terbakar amarah."
Menurut Aida, ia bertemu Zainuddin pada 2001 saat ia masih 16 tahun. Aida bertemu Zainuddin ketika ia bernyanyi bersama organ tunggal di sebuah acara.
* Pada 10 Oktober 2010, Aida kembali menggelar konferensi pers. Bersama penasihat hukumnya, Alamsyah Hanafiah. Aida mengajak wartawan ke sebuah vila di kawasan Puncak, Cisarua, Bogor. Di situ, Aida mengaku diperkosa Zainuddin.
Aida membeberkan kronologi pemerkosaan yang dilakukan Zainuddin terhadap dirinya. Menurut Aida, ketika berusia 16 tahun, dia diajak mampir ke Rumah Makan Mirasari, Puncak, Bogor. Rumah makan tersebut dekat dari rumah Aida dan Zainuddin juga sering mengajak Aida sekeluarga makan bersama di situ.
Setiba di rumah makan itu, Zainuddin mengatakan ke Aida bahwa di situ tidak ada lagi tempat yang kosong. Sehingga terpaksa harus mencari rumah makan di tempat lain. Kebetulan di sebelah rumah makan itu ada villa.
Di villa itulah Aida mengaku dirampas keperawanannya oleh sang da'i kondang.
* Pada 12 Oktober 2010, Aida ditemui sejumlah wartawan di fX Senayan, Jakarta Selatan. Dalam keterangannya, Aida kembali meminta Zainuddin meminta maaf kepadanya.
* 13 Oktober 2010, Kiai Haji Zainuddin MZ melalui Forum Solidaritas Ulama membantah keras tuduhan berbuat asusila terhadap. Bantahan itu disampaikan rekan dekat Zainuddin dari Forum Solidaritas Ulama, HM Hafiz Syahnara.
Hafiz, yang menjadi juru bicara Forum Solidaritas Ulama, menyatakan, Zainuddin MZ sempat bersumpah tidak pernah berbuat asusila terhadap Aida. Forum tersebut merupakan kumpulan para pendukung da'i sejuta umat itu.
"Demi Allah, tidak pernah melakukan (perbuatan) itu," kata Hafiz mengutip sumpah Zainuddin MZ di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, Rabu (13/10) malam. Perkataan sumpah, kata Hafiz, dilontarkan Zainuddin MZ saat pertama kali mendengar kabar itu.
Menurut Hafiz, Zainuddin MZ begitu terganggu terkait isu perselingkuhannya dengan Aida belakangan ini. Namun, dia memilih diam. "Begitu juga dengan istrinya. Beruntung, pak haji cukup sabar dan bisa menahan emosi jadi tidak banyak bicara," tutur Hafiz.
Zainuddin pun rencananya secara langsung menjawab tuduhan tersebut pada Jumat (15/10) besok.
Zainuddin M.Z. Sangkal Tudingan Pemerkosaan
"Demi Allah, tidak pernah melakukan (pemerkosaan) itu," kata Hafiz di Hotel Atlet, Senayan, Jakarta Selatan, Rabu malam lalu, mengutip omongan Zainuddin.
Zainuddin akan buka-bukaan dalam konferensi pers, yang rencananya digelar pada hari ini. Sejak Aida menggelar jumpa pers pekan lalu ihwal hubungan asmaranya dengan Zainuddin, dai itu menghilang dari rumahnya. Dia juga tak lagi memandu acara pengajian di masjid dekat rumahnya, Gandaria, Jakarta Selatan. Menurut Hafiz, Zainuddin merasa nama baiknya telah dicemarkan. "Aida diduga telah didanai pihak ketiga untuk melakukan pembunuhan karakter kepada Pak Haji, keluarga, dan umat," ujarnya.
Menurut Hafiz, Zainuddin sangat terganggu oleh tudingan itu. Namun ia memilih diam. "Pak Haji sudah pasti terganggu sejak Aida gencar bicara di media massa," tuturnya.
Heboh berita Zainuddin M.Z. menjalin hubungan terlarang dengan pelantun tembang Ayam Jago itu mencuat sejak 7 Oktober lalu. Aida mengaku berselingkuh setelah diperkosa dai kondang tersebut di sebuah vila di Cibogo, Puncak, Bogor, sembilan tahun lalu. Menurut Aida, perkenalan dengan Zainuddin terjadi saat perempuan itu masih berusia 16 tahun. Ayah Aida merupakan teman berorganisasi Zainuddin. Suatu saat, atas izin orang tua Aida, Zainuddin mengajak penyanyi dangdut organ tunggal itu bersantap di sebuah rumah makan.
Saat tiba di rumah makan itu, rupanya tak ada tempat kosong. Zainuddin pun menyarankan mencari tempat lain. "Kebetulan di sebelah rumah makan itu ada vila," ujarnya. Di vila itulah Aida mengaku diperkosa. Aida mengaku sempat joget-joget berdua di kamar bersama Zainuddin.
Namun Aida baru mengaku kepada orang tuanya enam tahun setelah peristiwa tersebut. Ayah Aida saat itu meminta pertanggungjawaban Zainuddin. Sang kiai mengusulkan mereka menikah di Mekah. Tawaran itu ditampik ayah Aida. Zainuddin dan ayah Aida akhirnya sepakat berdamai dan Zainuddin menjanjikan Aida uang Rp 1 miliar beserta rumah dan kendaraan. Ayahnya berjanji akan tutup mulut.
"Namun janji Zainuddin tersebut tak pernah dibuktikan. Akhirnya Aida dan keluarganya membuat pengakuan jujur ini," tutur kuasa hukum Aida, Alamsyah. "Saya ingin memberi pelajaran buat beliau, agar sesuai dengan isi ceramahnya," kata perempuan 25 tahun ini berapi-api.
Alih-alih memenuhi dua tuntutan tersebut, dai kondang tersebut malah mengutus seorang habib ke rumah Aida pada Sabtu pekan lalu. Menurut Aida, tujuan kedatangan habib itu adalah menyelesaikan kisruh perselingkuhannya dengan Zainuddin secara baik-baik. "Beliau janji, saya akan dikasih uang Rp 1 miliar, modal usaha, rumah, dan kendaraan," tutur Aida. Namun Aida masih sebal karena Zainuddin tak datang sendiri.
Selasa, 12 Oktober 2010
Berakhir di Bintang Timur
|
Senin, 11 Oktober 2010
Cara Abu Nawas Merayu Tuhan
Tak selamanya Abu Nawas bersikap konyol. Kadang-kadang timbul kedalaman hatinya yang merupakan bukti kesufian dirinya. Bila sedang dalam kesempatan mengajar, ia akan memberikan jawaban-jawaban yang berbobot sekalipun ia tetap menyampaikannya dengan ringan.
Seorang murid Abu Nawas ada yang sering mengajukan macam-macam pertanyaan. Tak jarang ia juga mengomentari ucapan-ucapan Abu Nawas jika sedang memperbincangkan sesuatu. Ini terjadi saat Abu Nawas menerima tiga orang tamu yang mengajukan beberapa pertanyaan kepada Abu Nawas.
“Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” ujar orang yang pertama.
“Orang yang mengerjakan dosa kecil,” jawab Abu Nawas.
“Mengapa begitu,” kata orang pertama mengejar.
“Sebab dosa kecil lebih mudah diampuni oleh Allah,” ujar Abu Nawas. Orang pertama itupun manggut-manggut sangat puas dengan jawaban Abu Nawas.
Giliran orang kedua maju. Ia ternyata mengajukan pertanyaan yang sama, “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya.
“Yang utama adalah orang yang tidak mengerjakan keduanya,” ujar Abu Nawas.
“Mengapa demikian?” tanya orang kedua lagi.
“Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu pengampunan Allah sudah tidak diperlukan lagi,” ujar Abu Nawas santai. Orang kedua itupun manggut-manggut menerima jawaban Abu Nawas dalam hatinya.
Orang ketiga pun maju, pertanyaannya pun juga seratus persen sama. “Manakah yang lebin utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya.
“Orang yang mengerjakan dosa besar lebih utama,” ujar Abu Nawas.
“Mengapa bisa begitu?” tanya orang ktiga itu lagi.
“Sebab pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa hamba-Nya,” ujar Abu Nawas kalem. Orang ketiga itupun merasa puas argumen tersebut. Ketiga orang itupun lalu beranjak pergi.
***
Si murid yang suka bertanya kontan berujar mendengar kejadian itu. “Mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan tiga jawaban yang berbeda,” katanya tidak mengerti.
Abu Nawas tersenyum. “Manusia itu terbagi atas tiga tingkatan, tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati,” jawab Abu Nawas.
“Apakah tingkatan mata itu?” tanya si murid.
“Seorang anak kecil yang melihat bintang di langit, ia akan menyebut bintang itu kecil karena itulah yang tampak dimatanya,” jawab Abu Nawas memberi perumpamaan.
“Lalu apakah tingkatan otak itu?” tanya si murid lagi.
“Orang pandai yang melihat bintang di langit, ia akan mengatakan bahwa bintang itu besar karena ia memiliki pengetahuan,” jawab Abu Nawas.
“Dan apakah tingkatan hati itu?” Tanya si murid lagi.
“Orang pandai dan paham yang melihat bintang di langit, ia akan tetap mengatakan bahwa bintang itu kecil sekalipun ia tahu yang sebenarnya bintang itu besar, sebab baginya tak ada satupun di dunia ini yang lebih besar dari Allah SWT,” jawab Abu Nawas sambil tersenyum.
Si murid pun mafhum. Ia lalu mengerti mengapa satu pertanyaan bisa mendatangkan jawaban yang berbeda-beda. Tapi si murid itu bertanya lagi.
“Wahai guruku, mungkinkah manusia itu menipu Tuhan?” tanyanya.
“Mungkin,” jawab Abu Nawas santai menerima pertanyaan aneh itu.
“Bagaimana caranya?” tanya si murid lagi.
“Manusia bisa menipu Tuhan dengan merayu-Nya melalui pujian dan doa,” ujar Abu Nawas.
“Kalau begitu, ajarilah aku doa itu, wahai guru,” ujar si murid antusias.
“Doa itu adalah, “Ialahi lastu lil firdausi ahla, Wala Aqwa alannaril Jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzambil adzimi.” (Wahai Tuhanku, aku tidak pantas menjadi penghuni surga, tapi aku tidak kuat menahan panasnya api neraka. Sebab itulah terimalah tobatku dan ampunilah segala dosa-dosaku, sesungguhnya Kau lah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar).
Banyak orang yang mengamalkan doa yang merayu Tuhan ini.
Minggu, 10 Oktober 2010
Mengapa Facebook Ditinggalkan Remaja dan Beralih ke Twitter??
Di jaman globalisasi seperti ini anak anak remaja di indonesia sekarang banyak yang menggunakan sosial network seperti facebook,ym,msn,skype,dan twitter dan remaja remaja jaman sekarang lebih sering menghabiskan waktunya dengan memanfaatkan situs jejaring pertemanan seperti itu. Tetapi belakangan ini remaja remaja di indonesia sekarang lebih banyak menggunakan situs jejaring sosial twitter,bahkan artis artis juga menggunakannya karena lebih simple dan mendunia hingga belakangan ini.
Mengapa facebook ditinggal kan?? Facebook belakangan ini ditinggalkan karena banyak orang menyalahgunakannya seperti tindakan kriminal. Bukan hanya itu saja facebook ditinggalkan karena sudah banyak “alay alay” yang menggunakan facebook,mengapa? Karena mereka sering membuat ’status’ tiap jam,bahkan ada yang tiap menit mengganti ’status’ itu yang membuat facebook ditinggalkan kalangan remaja jaman sekarang,sekarang juga facebook sering error.
Mengapa twitter banyak di gandrungi remaja? Karena twitter lebih simple dan praktis cara penggunaannya dibandingkan facebook. Selain itu “alay alay” belum menjamah twitter dikarenakan tidak mengerti cara penggunaannya, di twitter juga bisa melihat aktivitas sehari hari kita bahkan bisa membuat tema perbincangan yang ingin berbincang bincang dengan teman remaja remaja jaman sekarang pun jika ditanya mempunyai twitter pasti jawabannya ‘ya’, jadi twitter lebih praktis, simple sehingga mudah digunakan kalangan remaja yang sudah bisa menggunakan twitter.
Jumat, 08 Oktober 2010
OTONOMI DAERAH Desentralisasi Korupsi?
Oleh SUWARDIMAN
Pilkada tampaknya kini kerap dimaknai dengan logika dagang. Betapa tidak, potret politik yang cenderung bersifat transaksional ini sudah terjadi sejak awal proses penyelenggaraan demokrasi lokal. Semenjak tahapan awal pilkada, calon kepala daerah dituntut memiliki modal yang kuat karena mahalnya biaya politik. Keadaan itu ditambah pula dengan perilaku pemilih yang terdorong semakin pragmatis sehingga muaranya proses pemilihan kepala daerah yang transaksional dan koruptif.
Siklus balas jasa tersebut menyebabkan maraknya kepala daerah produk pilkada langsung terseret kasus korupsi. Dari 54 kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah atau mantan kepala daerah sepanjang 2005-2010, separuh lebih terkait penyelewengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan sepertiga lebih terkait tender proyek. Sisanya korupsi terkait penyalahgunaan alokasi dana lainnya, seperti dana bantuan sosial atau kas daerah (lihat peta).
Pengakuan sejumlah mantan kepala daerah/wakil kepala daerah memperkuat fakta munculnya praktik balas jasa kepada mayoritas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Proses pencalonan kepala daerah diakui membutuhkan biaya sangat tinggi, bahkan mencapai puluhan miliar rupiah. Hadi Supeno, mantan Wakil Bupati Banjarnegara, membeberkan pola korupsi di daerah dalam buku yang ditulisnya, Korupsi di Daerah: Kesaksian, Pengalaman, dan Pengakuan, 2009.
Mantan Wali Kota Tarakan Yusuf SK memiliki pengalaman tak jauh berbeda. Pada saat pilkada mendekat, sejumlah kelompok bisnis mendatangi calon untuk menawarkan dana dukungan menjelang pilkada. Calon kepala daerah yang menang nantinya akan dimintai kompensasi berupa alokasi proyek atau izin penyediaan lahan.
Di satu sisi, modal yang dikeluarkan kandidat saat pilkada sangat besar, tidak sebanding dengan pendapatan total selama menjabat, sekitar Rp 50 juta per bulan. Sebaliknya, pengeluaran kepala daerah—meliputi berbagai bantuan untuk kelompok dan individu dan menjadi ”kewajiban” seorang kepala daerah—jauh lebih besar jumlahnya. Ujung- ujungnya, pengeluaran ini dianggarkan dalam APBD alias melakukan korupsi.
Keuangan daerah memang menjadi sektor paling rawan korupsi dengan APBD sebagai obyek korupsinya. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan, terjadi 38 kasus korupsi di keuangan daerah pada semester pertama 2010, meningkat dari 23 kasus periode yang sama tahun 2009. Beberapa kasus APBD dengan potensi kerugian negara sangat besar selama tahun 2010 di antaranya adalah pembobolan kas daerah Aceh Utara sebesar Rp 220 miliar, APBD Indragiri Hulu sebesar Rp 116 miliar, kas daerah di Pasuruan, Jawa Timur, sebesar Rp 74 miliar, dan dana otonomi daerah di Boven Digoel sebesar Rp 49 miliar.
Secara keseluruhan, ICW mencatat dua kali lipat lebih penindakan kasus korupsi selama semester pertama 2010 dengan 176 kasus korupsi mengakibatkan kerugian negara Rp 2,1 triliun.
Praktik desentralisasi politik, secara teoretis, adalah jalan untuk mendistribusikan kekuasaan sentralistik menjadi lebih merata ke tingkat lokal. Pemilihan kepala daerah langsung pun ditujukan untuk menciptakan pemerintahan daerah yang akuntabel. Penguasa lokal diharapkan mampu lebih responsif terhadap kepentingan rakyat yang langsung memilihnya.
Sistem pemilihan langsung hanya akan bermakna bila diselenggarakan dalam perspektif demokrasi substansial, yaitu ditunjang perilaku demokratis, baik dari elite lokal maupun masyarakat pemilih. Perilaku dimaksud adalah pemilih memiliki pendidikan politik yang cukup dan menetapkan pilihan politik berdasarkan kesadaran rasional terhadap calon-calon yang bertarung di pilkada.
Masalahnya, perilaku politik, baik dari kandidat maupun pemilih, saat ini sama-sama cenderung terdorong ke arah yang tak diperhitungkan sebelumnya. Mengutip Syarif Hidayat (Deepening Democracy in Indonesia, 2009), arti kata modal saja bagi kandidat kepala darah saat ini tidak hanya berupa modal politik, tetapi juga modal finansial. Modal politik bersumber pada partai politik, tokoh informal, ataupun kemampuan berpolitik, sementara modal finansial adalah kekayaan pribadi kandidat atau pihak lain yang satu kelompok kepentingan.
Kecenderungan perilaku pemilih saat ini yang semakin ”pragmatis” dan ”transaksional” sedikit banyak terindikasi dari kecilnya rentang waktu dalam menentukan pilihan politik. Beberapa hasil penelitian memperlihatkan, saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta, misalnya, separuh responden baru menetapkan keputusan pada hari-H pencoblosan, sementara 31,4 persen responden seminggu sebelumnya. Hasil survei Kompas selama pilkada di Jawa Barat dan Jawa Timur juga menunjukkan sekitar 20 persen pemilih baru memutuskan pilihan mereka pada hari pelaksanaan pemilu.
Meski tak seluruh indikasi tersebut dimotivasi keinginan responden menunggu ”serangan fajar”, tetapi tak pelak pola demikian membuka lebar peluang tim sukses pasangan calon melakukan praktik politik uang. Faktanya, merujuk pada berbagai gugatan pilkada di Mahkamah Konstitusi, nyaris semua dalil penggugat yang jumlahnya ratusan kasus itu diwarnai laporan perihal terjadinya praktik politik uang.
Bertemunya dua kebutuhan, yakni modal politik dan modal kapital, pada awal proses pembentukan pemerintahan daerah melahirkan berbagai bentuk transaksi pasca-terbentuknya pemerintahan. Transaksi politik dan transaksi bisnis berkelindan sebagai buah investasi berbagai pihak yang menjadi sponsor hingga terpilihnya seorang kandidat menjadi kepala daerah. Model transaksional ini menurut Syarif Hidayat pada akhirnya melahirkan praktik ”pemerintah bayangan”, yakni kekuatan informal yang berdiri di balik panggung kekuasaan dan menyetir kerja pemerintahan sebenarnya.
Dengan situasi itu, tak heran bila pasca-pemilihan gubernur atau bupati kebijakan yang ditelurkan dirasa janggal oleh publik atau berpihak secara tidak wajar kepada kelompok tertentu. Dengan pola imbal balik demikian, tak heran pula jika seorang calon kepala daerah bermasalah bisa terpilih kembali.
Pilkada Kabupaten Boven Digoel, Papua, dan Kepulauan Aru menjadi contoh. Petahana Boven Digoel, Yusak Yaluwom, menang dengan 43,7 persen suara, padahal dia tersangka korupsi APBD Boven Digoel tahun 2005-2007 senilai Rp 49 miliar. Adapun petahana Kepulauan Aru, Teddy Tangko, menang dengan 42,7 persen suara, terjerat kasus korupsi APBD 2005-2007 sebesar Rp 30 miliar. Tak hanya Yusak dan Tangko, setidaknya tercatat lima petahana lain yang dalam status tersangka korupsi, tetapi terpilih kembali sebagai kepala daerah.
ANOMALI
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, selalu saja penuh dengan orang-orang dari Boven Digoel, Papua, saat Bupati mereka, Yusak Yaluwo, disidang. Walaupun didakwa melakukan korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Boven Digoel tahun 2005 hingga 2007 senilai Rp 49 miliar, tetapi Yusak mengklaim dia tetap ”didukung”.
Petahana ini memenangi pemilu kepala daerah (pilkada) Boven Digoel walaupun saat itu sudah berstatus tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kemenangan Yusak Yaluwo dalam pemilihan bupati Boven Digoel pada Agustus 2010 sempat mengherankan Wakil Ketua KPK Haryono Umar. Yusak adalah petahana yang menjadi tersangka dalam perkara dugaan korupsi APBD Boven Digoel. Pada 15 April 2010 KPK menjemput paksa dia dan menahannya hingga kini.
”Kemungkinan besar masyarakat tidak mendapat informasi lengkap. Kalau sudah jadi tersangka, akan jadi terdakwa. Kalau sudah terdakwa, menurut undang-undang, biasanya dicopot. Ini juga justru nanti akan menjadi kendala (pemerintahan) di Boven Digoel,” tutur Haryono di Jakarta.
Mantan Wakil Bupati Banjarnegara, Jawa Tengah, Hadi Supeno mengaku tak heran dengan kemenangan Yusak ataupun petahana lain tersangka korupsi. ”Pilkada semuanya hanya masalah uang. Yang mau bayar, pasti menang,” kata dia.
Selain Yusak, Wali Kota Tomohon, Sulawesi Utara, Jefferson Rumajar, yang tengah jadi tersangka KPK dalam perkara dugaan penyalahgunaan APBD hingga Rp 19,8 miliar, juga memenangi pilkada pada 3 Agustus lalu.
Berdasarkan penelitian Indonesia Corruption Wacth, lima petahana tersangka korupsi oleh Kejaksaan telah memenangi pilkada periode 2010- 2015, yaitu Bupati Rembang (Jateng) Moch Salim, Bupati Kepulauan Aru (Maluku) Theddy Tengko, Bupati Lampung Timur (Lampung) Satono, Wakil Bupati Bangka Selatan (Bangka Belitung) Jamro H Jalil, dan Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamudin.
”Korupsi menjadi suatu yang salah kaprah, salah tetapi dianggap umum. Bagi pejabat di daerah, korupsi dianggap masalah kesempatan. Mereka antre kapan memperoleh kesempatan. Sedangkan di masyarakat ada internalisasi nilai, korupsi menjadi wajar. Tidak dianggap aib lagi,” kata Hadi.
Karena itu, dia merasa tak mengherankan lagi, petahana tersangka korupsi, bahkan yang sudah disidang, masih memenangi pilkada.
Selain aturan tak jelas, menurut Hadi, etika politik di daerah sama sekali diabaikan. ”Ada juga tren orang sudah jadi kepala daerah dua kali masa jabatan, daftar menjadi wakil kepala daerah. Ada lagi, bupati yang pindah ke kabupaten tetangga daftar jadi wakil bupati,” kata dia.
Menurut Hadi, banyak yang berharap menjadi pejabat bukan karena visi atau ingin mengubah daerah jadi lebih baik, tetapi benar-benar memimpikan fasilitas jabatan.
Keuangan daerah memang jadi kue rebutan aktor korup, termasuk pejabat dan calo dari pusat. Kebanyakan proyek di daerah dirancang jauh hari oleh pengusaha rekanan dengan penguasa sebelum ada pembahasan anggaran. Tender hanya main-main.
Hadi mengakui, beberapa daerah kini menyewa mantan karyawan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengawal APBD. ”Namun, tujuannya lebih mengakali anggaran. Bukan mengatur agar lebih baik, tetapi bagaimana mencurinya,” kata dia.
Menurut Hadi, walaupun yang menjadi aktor utama korupsi di daerah adalah pejabat dan pengusaha setempat, pejabat di tingkat pusat juga terlibat. ”Hampir semua dana yang diturunkan ke daerah pasti ada konsesi. Zaman saya menjabat, biasanya sampai 8 persen. Untuk pejabat di pusat 5 persen dan 3 persen kembali ke kepala daerah melalui calo di pusat,” ujar dia.
Yang paling banyak disunat adalah dana alokasi khusus. ”Dana itu tak mungkin turun tanpa negosiasi, harus ada proposal dulu. Proposal menumpuk di meja pengambil keputusan. Butuh negosiasi. Negosiasi itu tidak gratis,” tuturnya.
Praktik itu, menurut Hadi, masih berlangsung hingga kini dan hampir semuanya tutup mata. ”Baru-baru ini saya masih menemui wali kota dan bupati yang keluyuran di DPR. Mau apa kalau bukan negosiasi anggaran atau ketemu calo-calo?” kata dia.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi melihat perlu ada usaha memperbaiki situasi. Salah satunya dengan mengurangi jumlah pilkada langsung. Untuk itu, ia mengusulkan gubernur tak lagi dipilih langsung mengingat ia wakil pemerintah pusat di daerah. Kompensasinya, gubernur diberi kewenangan besar oleh pemerintah pusat.
”Ada orang yang mengatakan, di mata bupati, gubernur nanti menjadi tidak berwibawa karena tidak dipilih langsung. Menteri juga tak dipilih langsung dan apakah menjadi tidak berwibawa? Kewibawaan tidak terletak pada dipilih langsung atau tidak dipilih langsung, tetapi terletak pada kewenangan yang dimilikinya,” ujar Gamawan.
Gagasan lain, membatasi pengeluaran calon. Caranya, area pemasangan atribut kampanye dibatasi. Pengerahan massa juga dilarang sebab mendatangkan ribuan orang perlu biaya besar.
Ide lain, mengatur bukan calon yang mencari uang, melainkan partai pendukung yang bertugas mengumpulkan uang. Hal ini dilakukan di sejumlah negara lain. Partai berkeliling mencari dana dengan ”menjual” calon yang didukung.
KORUPSI DI PILKADA
Kuasa hukum pemohon sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, meminta majelis hakim membuka karung beras itu. Mereka mendengar di dalamnya juga ada amplop berisi uang.
Permintaan itu mengundang sanggahan dari kuasa hukum pemenang pilkada Kabupaten Teluk Wondama, yang menjadi pihak terkait dalam perkara itu. Kuasa hukum pemenang pilkada pun mengajukan keberatan dan meminta karung itu tak dibuka.
Hakim konstitusi yang menyidangkan perkara itu tetap meminta karung itu dibuka. Memang benar, di dalamnya terdapat amplop berisi uang
Cerita tentang pemberian para pasangan calon kepada rakyat pemilih beragam. Dari pemberian kain sarung di Kabupaten Simalungun atau Pesawaran, misalnya, bahan pangan/makanan pokok, peralatan sekolah, pembuatan fasilitas umum seperti lapangan sepak bola yang dibiayai calon, hingga yayasan pondok pesantren atau panti asuhan yang tiba-tiba tersengat bantuan nomplok.
Membeli suara masih juga dilakukan, semacam gerakan serangan fajar. Misalnya, calon mendatangi rumah dan membagikan uang Rp 50.000 seperti dikemukakan saksi dalam sidang perselisihan hasil pilkada Kabupaten Bandung.
Untuk calon yang petahana (atau calon yang masih memiliki hubungan dekat dengan petahana, seperti istri bupati), cerita mungkin sedikit bervariasi. Mereka bisa memanfaatkan program pemerintah daerah, seperti pembangunan jalan, bantuan warga miskin, bantuan korban banjir, kebijakan layanan publik, atau menggratiskan pembuatan KTP atau pajak bumi dan bangunan.
Cerita di atas adalah berbagai modus yang terungkap di persidangan MK. Hingga saat ini, MK telah menangani setidaknya 174 perkara. Sudah sering diakui, politik uang memang terjadi di hampir seluruh pilkada. Kalau pada 2010 ini terdapat 244 pilkada, maka hampir di seluruhnya terjadi praktik-praktik tersebut.
Ada modus baru yang terungkap di persidangan, yaitu penggunaan tim relawan. Beranggotakan puluhan hingga ratusan ribu orang, tim itu juga termasuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) di wilayah bersangkutan. Seperti terungkap dalam putusan MK untuk perkara sengketa pilkada Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Kalimantan Tengah, anggota tim relawan pasangan calon Sugianto-Eko Sugianto berjumlah 78.238 atau sekitar 62,09 persen dari total pemilih.
Relawan itu mendapat uang
Hampir serupa dengan di Kobar, MK pun memerintahkan pencoblosan ulang di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. MK menemukan adanya tim relawan yang berjumlah 122.560 orang dari pemilih 209.468 orang. Salah satu pasangan calon, Hidayat Batubara-H Dahlan Nasution, membagikan surat keputusan relawan senilai Rp 20.000 hingga Rp 100.000 kepada masyarakat selama proses pilkada.
Praktik politik uang yang masif semacam ini sungguh mengkhawatirkan. Setidaknya hal itu diungkapkan hakim konstitusi Hamdan Zoelva. Besarnya biaya untuk membeli suara pemilih tidak sebanding dengan penghasilan kepala daerah. Inilah yang kemudian memacu perilaku koruptif.
”Biaya kampanye tidak wajar. Seakan-akan untuk kampanye, tetapi ternyata untuk politik uang. Kadang sistematif, masif, dan terstruktur. Kalaupun terpilih, tentu mereka berpikir mengembalikan uang,” ujar Hamdan.
Lantas dari mana uang sedemikian besar yang harus dikeluarkan pasangan calon? Kalau itu berasal dari investor atau pengusaha, jelas Hamdan, hal itulah yang menumbuhsuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Maraknya praktik politik uang dalam pilkada pun menarik perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Wakil Ketua KPK bidang Pencegahan Haryono Umar mengatakan, masyarakat kerap tidak mendapat informasi cukup sehingga ketika pemilihan digelar, tidak memilih secara rasional, tetapi secara emosional.
Mereka mudah diiming-imingi dengan bayaran atau hadiah. Akibatnya, untuk meraih dukungan mereka, calon tidak segan merangkul promotor guna memberi dukungan dana. Apalagi, menurut Haryono Umar, sistem pemilihan membutuhkan biaya sangat mahal. ”Kondisi politik kita harus dibenahi karena tidak baik untuk pemberantasan korupsi,” tutur dia.
Seorang calon, tuturnya, tidak hanya harus menyisihkan dana berkampanye, tetapi juga meminang partai pendukung. Maju dengan modal terbatas akan riskan, apalagi jika calon belum dikenal dan tidak memiliki catatan mengesankan.
Masuknya dana pendukung dari promotor diduga kuat akan berujung pada praktik korupsi. Di sisi lain, bagi petahana, penggunaan dana bantuan sosial serta dana hibah untuk mengikat konstituen juga perlu dicermati.
Apalagi pertanggungjawaban dana hibah dalam APBD itu kerap tidak jelas. ”Harus dicegah menyeluruh. Kami akan bicara khusus dengan Depdagri untuk meningkatkan kinerja dan pengelolaan keuangan daerah,” kata Haryono lagi.
Sekjen Transperancy International Indonesia (TII) Teten Masduki mengatakan, praktik jual-beli suara rakyat melalui tokoh dalam pilkada, bahkan pemilihan umum, merupakan fenomena perubahan dari era otoriter menjadi populer.
Yang mengkhawatirkan, praktik itu dahsyat terjadi. Pemenangan pilkada, tutur Teten, kerap semata-mata karena kekuatan uang, bukan program.
Implikasinya, tekanan tidak hanya menguat pada penggunaan dana publik, seperti dana hibah atau bantuan sosial, tetapi juga efek jangka panjang pada sumber keuangan daerah lainnya.
Apalagi pada saat bersamaan struktur politik tidak bekerja optimal. Ujungnya, kompromi dengan para penyandang dana melalui kontrak bisnis, pemberian izin lokasi dan dana hibah, hingga lahirnya program mercusuar dan bantuan sosial yang menyerap habis keuangan daerah demi popularitas petahana.
TII, ungkap Teten, akan membicarakan hal itu dengan Menteri Dalam Negeri. Selain itu, menurut Teten, salah satu solusi mereduksi praktik politik uang dan transaksi politik dalam pilkada adalah memperketat dana kampanye, memperkuat pendidikan politik, serta menegakkan pidana pemilu. Juga gagasan menyederhanakan sistem pemerintahan melalui penunjukan gubernur oleh presiden.
Secara terpisah, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengakui, persoalan korupsi oleh kepala daerah sebagai akibat mahalnya biaya pilkada langsung sedang hangat dibicarakan. Dia sampai diundang Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) untuk berbicara khusus mengenai masalah itu.
”Jadi, ini fenomena baru di negara kita. Dulu, sebelum reformasi, menjadi bupati/wali kota itu enak. Kalau tiga jalur (ABRI, birokrat, dan Golkar) setuju, tinggal tunggu pelantikan karena Golkar sangat kuat waktu itu. Kita hampir tidak memerlukan modal,” ujar Gamawan, yang juga mantan Bupati Solok, Sumatera Barat, dan Gubernur Sumbar.
PEMILIHAN KEPALA DAERAH
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2007 tidak hanya berlangsung tanpa gejolak, tetapi juga membuka sisi gelap demokrasi. Dari kisah tercecer pemilihan kepala daerah di Ibu Kota, Mayor Jenderal (Purn) Djasri Marin dan Mayor Jenderal (Purn) Slamet Kirbiantoro terang-terangan menagih uang mereka, yang telah diberikan kepada partai politik. Keduanya mengaku menjadi ”korban” politik.
Djasri mengaku menyetor
Keberanian Djasri dan Slamet membuka permainan parpol itu menjadi semacam konfirmasi bahwa selama ini memang ada ”jual beli” dalam pencalonan seseorang menjadi kepala daerah. Nilai ”perdagangan politik” itu tak murah, miliaran rupiah.
Kisah Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip tahun 2005, yang pada periode pertama dicalonkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, lalu berganti partai pengusung, diduga juga terkait mahalnya biaya untuk partai itu. Meski tak pernah terbuka diakui, ketika mencalonkan kembali, Sukawi diusung Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Saat mencalonkan diri sebagai gubernur Jawa Tengah tahun 2009, Sukawi diusung Partai Demokrat.
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki pun pernah disebut-sebut sebagai calon gubernur Banten tahun 2007. Namun, akhirnya ia tidak pernah maju sebagai calon. ”Enggak punya uang,” katanya saat itu.
Agustin Teras Narang, Gubernur Kalimantan Tengah, Senin (4/10) di Jakarta, mengakui, untuk menjadi calon kepala daerah, ada bantuan dari partai. ”Tetapi tak banyak karena saya diusung satu partai saja,” katanya. Apalagi ia adalah petahana. PDI-P mendukung sepenuhnya.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menuturkan, ada perbedaan menjadi calon kepala daerah pada masa lalu dan sejak masa reformasi tahun 1998. Ia tak mengeluarkan sepeser uang pun saat menjadi Bupati Solok, Sumatera Barat, periode 1995-2000. Ia dipilih anggota DPRD dan lancar karena disetujui tiga jalur, yakni ABRI, birokrasi, dan Golongan Karya.
Namun, situasi berubah. Saat mencalonkan diri sebagai gubernur Sumatera Barat tahun 2005, ia menghabiskan biaya sekitar Rp 3,5 miliar. Jumlah ini relatif kecil untuk pencalonan gubernur.
”Dana Rp 3,5 miliar itu hasil sumbangan banyak orang. Ada yang membawa stiker ke posko. Posko pun hanya saya sewa selama tiga bulan,” kata Gamawan, peraih Bung Hatta Anticorruption Award tahun 2004.
Ia mengakui, ada calon gubernur yang harus menyediakan uang Rp 50 miliar untuk membiayai pencalonannya. Sumber dana bisa macam-macam, termasuk ”investasi” pengusaha.
Hadi Supeno, mantan Wakil Bupati Banjarnegara, Jawa Tengah, juga mengakui sempat gamang saat ada beberapa pengusaha di daerah asalnya menawarinya siap menjadi sponsor untuk pencalonan dirinya sebagai bupati. Namun, tawaran itu tak gratis. Mereka meminta proyek di daerah itu harus diserahkan kepada promotor. Hadi menolak. Ia juga kalah pada Pilkada Banjarnegara tahun 2006.
”Pilkada masih menjadi ajang percaloan. Bahkan, sepertinya lebih parah lagi sekarang,” kata Hadi, yang menuliskan pengalamannya itu dalam buku berjudul Korupsi di Daerah: Kesaksian, Pengalaman, dan Pengakuan. ”Pilkada butuh banyak uang. Bagi yang tengah menjabat (petahana), dalam dua tahun terakhir pasti jorjoran cari uang dari proyek. Bagi yang tak menjabat, pasti cari dana dari sponsor. Padahal, tiada makan siang gratis,” katanya.
Teras Narang mengakui, tidak jarang kepala daerah yang masih menjabat, saat mencalonkan diri lagi, memainkan APBD untuk meningkatkan keterpilihannya. Dana bantuan sosiallah yang bisa dimainkan. ”Sebab itu, setahun sebelum pilkada, saya tidak mengeluarkan dana bantuan sosial. Pemberian bantuan, dengan dana bantuan sosial, menjelang pilkada, dapat saja dianggap politik uang,” katanya. Tak sedikit kepala daerah yang terjerat kasus korupsi terkait APBD.
Selain bantuan dana dan barang dari pendukung, tak jarang calon kepala daerah terpaksa berutang atau menjual harta bendanya untuk membiayai pencalonan dan kampanye. Jika menang dan terpilih, ia bisa mengembalikan pinjaman itu. Namun, jika gagal, ia bisa berhadapan dengan masalah hukum.
Kisah pengusaha Sutoto Agus Pratomo, yang Juni 2010 ditemukan tewas gantung diri di kantornya, bisa menjadi bahan renungan. Istri Sutoto, Dasih Ardiyantari, adalah calon wakil wali kota Semarang pada Pilkada 2010. Dasih kalah. Kematian Sutoto diduga terkait beban biaya politik yang harus ditanggungnya setelah istrinya gagal.
Juni 2010, Memet Rochamad juga ditemukan tewas gantung diri di rumahnya di Jaka Sampurna, Bekasi, Jawa Barat. Memet adalah calon bupati Bekasi pada pilkada tahun 2007, tetapi gagal. Kematiannya juga diduga terkait dengan depresi atas kekalahannya dan penyakit stroke yang dideritanya.
Sebaliknya, Yuli Nursanto tahun 2008 tak sampai melakukan tindakan fatal. Namun, calon bupati Ponorogo, Jawa Timur, itu pernah lari dari Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Harjono, Ponorogo, hanya dengan memakai celana dalam. Ia juga pernah tiduran di trotoar sehingga menjadi tontonan warga. Namun, ia akhirnya dinyatakan sehat sehingga bisa diadili di Pengadilan Negeri Ponorogo atas dugaan penipuan dan penggelapan senilai Rp 2,9 miliar. Bisa jadi, uang itu adalah biaya pencalonannya.