Selasa, 30 November 2010

Sebut Monarki, Kesalahan Strategi SBY

Robert Adhi Ksp/KOMPAS
Abdi dalem di Keraton Jogja

JAKARTA, KOMPAS.com — Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengibaratkan Keraton Kesultanan Yogyakarta sebagai bentuk monarki akhirnya memicu polemik di media massa.

Ini bukti kesalahan strategi komunikasi Presiden SB Yudhoyono.
-- Burhanuddin Muhtadi

Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi mengatakan, hal ini bukti kesalahan strategi komunikasi Presiden. Dikatakan Burhanuddin, terkait perdebatan RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang menjadi persoalan hanya pada poin apakah pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur sebaiknya dilakukan melalui penunjukan langsung atau pemilihan umum.

Sementara terkait keistimewaan DIY, hal ini sudah diakui oleh RUUK DIY. "SBY telalu memberi ruang tafsir seolah-olah dia menggugat keistimewaan Yogyakarta. Seharusnya Presiden langsung fokus ke persoalan terkait satu pasal yang sudah sekian lama tertunda karena tidak ada kesepakatan antara pemerintah-DPR, yaitu tentang pemilihan kepala daerah. Namun, poin ini tak langsung disasar SBY. Sebaliknya, dia justru muter-muter soal monarki," kata Burhanuddin ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (30/11/2010).

Ketika menyebut kata monarki, sambung Burhanuddin, Kepala Negara seharusnya memperjelasnya. Dalam ilmu dasar politik, ada dua jenis monarki. Pertama, monarki absolut yang tidak sejalan dengan demokrasi. Kedua, monarki konstitusional yang sejalan dengan demokrasi.

Perdebatan soal konsep pemilihan gubernur dan wakil gubernur DIY sebenarnya tak perlu terjadi jika Presiden bertemu langsung dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan berdiskusi langsung.

Burhanuddin membantah dengan anggapan sebagian pihak bahwa SBY mempersoalkan keistimewaan DIY lantaran Sultan kini aktif di organisasi Nasional Demokrat pimpinan politisi Surya Paloh.

Perdebatan soal perlu atau tidaknya pemilihan langsung gubernur DIY telah bergulir sejak periode pemerintahan SBY-Jusuf Kalla pada 2004-2009. "Waktu itu, Pak JK secara terang-benderang menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah, termasuk Yogyakarta, harus dilakukan secara langsung. Akhirnya, perdebatan langsung masuk kepada substansi," katanya.