Rabu, 01 Desember 2010

Abd. Moqsith Ghazali: “Di Kaki Merapi, Kisah Nabi Ibrahim Tak Ada Lagi”

Bencana demi bencana yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini cukup menyibukkan berbagai kalangan. Masyarakat berbondong-bondong memberikan berbagai bantuan kepada para korban. Namun, ada kecenderungan naif di tengah masyarakat ketika menyikapi fenomena bencana ini. Ada sebagian orang yang mengait-ngaitkan bencana dengan azab Tuhan (teologis). Padahal, pernyataan itu tentu sangat menyakitkan hati para korban dan sangat tidak ilmiah. Untuk mengetahui penjelasan tentang teologi bencana, Vivi Zabkie dan Saidiman Ahmad mewawancarai Abd. Moqsith Ghazali, cendikiawan muslim. Wawancara ini disiarkan langsung, Rabu, 3 November 2010, dari KBR68H bekerjasama dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) dan disiarkan 40 stasiun radio di seluruh Indonesia

Melihat bencana yang beruntun terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, bagaimana sebenarnya agama memandang bencana dan bagaimana pula sikap yang baik dan benar yang bisa ditawarkan oleh agama dalam menghadapi bencana?

Oke, pertama ingin saya katakan bahwa pemerintah mestinya belajar dari sejumlah bencana yang telah berkali-kali terjadi sebelumnya. Misalnya tsunami di Aceh tahun 2004, dan juga bencana-bencana yang terjadi sesudahnya. Mestinya pemerintah makin mempunyai kecakapan teknis yang lebih baik tentang bagaimana mengelola bencana, bagaimana korban-korban bencana alam bisa dikelola dengan baik. Mestinya itu ditangani secara lebih baik dari tahun ke tahun, dari waktu ke waktu. Sungguh sangat disayangkan, kita tidak melihat perkembangan yang cukup signifikan dari pemerintah dalam hal-hal yang saya sebutkan tadi. Misalnya kasus tsunami di Kepulauan Mentawai semestinya sudah bisa diantisipasi sehingga korban tidak terlalu banyak. Begitu juga yang terjadi di gunung Merapi, Jogjakarta. Mestinya sudah bisa diantisipasi dan juga dilaksanakan semacam evakuasi paksa terhadap warga yang dengan argumen keyakinan keagamaannya tidak mau turun.

Pemerintah bisa melakukan evakuasi paksa sehingga tidak terjadi “bunuh diri massal” ketika terjadi erupsi Merapi itu. Masyarakat mestinya menghindar dan tidak menantang bencana yang memang sudah di hadapan. Itu sebabnya sebagian kiai berpandangan bahwa tindakan mereka yang tidak mau turun ke bawah adalah bunuh diri. Misalnya mengutip sebuah ayat di dalam al-Quran, al-Baqarah 2: 195, wa laa tulquu bi aidiikum ila tahlukah (dan janganlah kalian melemparkan diri kalian ke dalam kebinasaan). Pusat vulkanologi sudah jelas menyatakan bahwa sebentar lagi akan terjadi lelehan lava dan awan panas dengan tingkat suhu 600 derajad celcius bahkan lebih dari itu, tapi mereka tetap saja tidak mau turun untuk menyelamatkan diri. Itu sebabnya, sebagian tokoh agama memandang sebagai tindakan bunuh diri, boro-boro disebut sebagai mati syahid.

Kenapa mereka disebut sebagai orang-orang yang bunuh diri?

Iya, karena mereka sudah tahu akan ada bahaya yang mengancam jiwa, tapi mereka tidak mau menyelamatkan diri. Itu yang sangat disayangkan oleh tokoh-tokoh agama dan sebagian kiai yang saya kutip pendapatnya di atas dengan mengutip salah satu ayat al-Quran tadi.
Kalau kita melihat contoh di zaman Nabi, kita tahu bahwa ketika jumlah pengikut Nabi Muhammad hanya 10 orang dan jumlah musuh dari orang-orang musyrik Mekah lebih banyak, Nabi Muhammad tidak diperintahkan oleh Allah untuk menghadapi mereka. Tapi justru diperintahkan untuk berlari menyelamatkan diri sampai ke sebuah gunung yang disebut dengan gunung Tsur. Di puncak gunung itu ada sebuah gua yang hanya cukup untuk posisi duduk saja, tidak bisa berdiri. Moral story yang bisa kita petik adalah betapa seorang Nabi yang dijamin ma’shum (invallible,tidak mungkin salah) di dalam Islam pun diperintahkan oleh Allah untuk menyelamatkan diri. Bukan menantang maut dengan menghadapi ribuan orang musyrik Mekah. Tapi apa pun, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan orang-orang yang ada di rumah Mbah Maridjan dan meninggal karena awan panas.

Tapi kita melihat beragam opini yang berbeda tentang sosok Mbah Maridjan ini. Ada yang membenarkan, ada pula yang menyalahkan. Bagaimana menurut anda?

Saya menyebutnya sebagai ironi. Memang ada sebuah ironi di sana. Di satu sisi, ada kiai-kiai yang menyatakan bahwa itu adalah tindakan bunuh diri. Sisi lainnya, oleh masyarakat kita, melalui media-massa, Mbah Maridjan dianggap sebagai sosok pahlawan yang patut dimuliakan, seolah-olah ia menunjukkan sikap kepemimpinan yang patut dicontoh dan penyerahan diri terhadap amanah, teguh pada pendirian; tidak dianggap telah menghancurkan jiwa.
Di dalam Islam, ada konsep yang disebut dengan hifzun nafs (memelihara jiwa). Tentu pandangan ini dianggap tidak populer, karena ini dianggap tidak mempunyai empati yang tinggi terhadap korban. Tapi dari perspektif keagamaan, “tindakan” Mbah Maridjan itu sangat berbahaya, mengancam jiwa orang-orang yang percaya kepada dia. Kita diperintahkan agama utuk menyelamatkan diri, tidak menantang kematian dan juga tidak membawa orang lain masuk dalam ancaman bahaya. Mbah Maridjan itu seolah memberi garansi kepada orang-orang yang berlindung dan percaya kepadanya, bahwa kira-kira lelehan panas lava tidak akan menyentuh rumah sang tokoh ini. Kalaupun rumah itu kena, lava akan mendadak dingin, seolah kisah Abraham ketika dilemparkan ke dalam bara api dan tiba-tiba api terasa dingin, akan terulang kembali.

Kadang-kadang orang memandang bencana sebagai rencana Tuhan dan ujian untuk orang beriman; dan azab bagi yang tidak beriman dan bermaksiat. Bagaimana anda melihatnya?

Sebenarnya kalau kita merujuk di dalam al-Quran dan juga hadis, ada beberapa istilah yang sering kali agak rancu. Mulai dari istilah mushibah, bala’ , adzab dan lain-lain. Bala’ itu sebenarnya dalam bahasa kita adalah ujian. Dan, ujian itu bukan saja dalam bentuk bencana, tetapi kehidupan dan kematian di dalam al-Quran juga disebut dengan ujian. Disebutkan dalam surah al-Mulk 67:2, al-ladzii khalaqal mauta wal hayata liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala (…..yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian siapakah di antara kalian yang paling baik amal perbuatannya). Ujian apakah kehidupan kita bermanfaat atau tidak untuk orang lain. Apakah proses kematian kita baik atau tidak, itu yang menjadi ujian.

Nah, kalau yang disebut sebagai azab itu memang kita bisa memperdebatkanya secara panjang lebar. Apakah misalnya orang yang berada di Mentawai itu bisa disebut sebagai mendapatkan azab dari Allah. Apakah orang yang ada di Aceh karena mengalami musibah tsunami begitu rupa hingga 100 ribu lebih orang meninggal, itu azab atau bukan. Saya sendiri berpendirian itu bukan merupakan azab. Karena memang mereka itu hidup di daerah-daerah yang memang rawan terjadi bencana. Begitu juga orang yang tinggal di sekitar Merapi. Karena itu pemerintah mestinya berpikir lebih jauh ke depan apakah bisa direlokasi, misalnya, orang-orang yang tinggal di daerah-daerah yang rawan bencana, di Kepulauan Mentawai, di sekitar Merapi dan lain-lain.

Jadi mereka yang sedang terkena bencana di Mentawai dan Merapi jangan dianggap kena azab begitu ya…

Betul, karena azab itu tidak seperti itu. Azab itu kira-kira orang-orang yang melanggar prinsip-prinsip dasar kemanusiaan. Kalau kisah para nabi zaman dahulu kan azab itu diturunkan pada saat itu juga tanpa ampun. Nah, sejumlah literatur keislaman menyatakan bahwa azab dalam pengertian langsung memberi sanksi secara massal itu di dalam periode Nabi Muhammad tidak akan terulang kembali. Karena itu “pembunuhan massal” seperti dalam kisah Nabi Luth, dalam kisah umatnya Nabi Musa, Nabi Ibrahim dan lain-lain itu tidak akan terulang kembali.
Karena itu yakinlah bahwa yang terjadi sekarang ini bukan bentuk azab, dalam pengertian seperti di dalam kisah nabi-nabi jaman dulu itu. Mestinya kalau orang yang bermaksiat itulah yang akan mendapatkan azab, bukan orang Aceh atau Nias saja yang kena. Jakarta atau Singapura, misalnya, di sana ada bisnis judi yang besar sekali, atau Belanda misalnya di sana ada pelacuran di Red Light District, mestinya lebih duluan kena azab.

Siapa saja, baik bertakwa atau tidak, yang tinggal di daerah yang rawan bencana seperti di sekitar gunung Merapi di Jogjakarta, dia akan terkena dampak. Ketika waktunya mau meletus, ya meletuslah.

Jadi bagaimana memaknai azab dalam konteks sekarang?

Azab dalam konteks sekarang tidak bisa dimaknai sesuatu yang langsung turun dari Allah, benar-benar campur tangan Tuhan yang sedang marah. Azab misalnya bisa dimaknai sebagai akibat ulah tangan manusia. Disebutkan dalam al-Quran, ar-Rum 41, zhaharal fasadu fil barri wal bahri bima kasabat aidinnas (kerusakan di bumi dan di laut ini disebabkan oleh ulah tangan manusia). Karena itu banjir di Jakarta, misalnya, pasti bukan karena azab yang turun langsung dari Tuhan. Tapi karena kelalaian manusia, misalnya karena ada pendangkalan sungai, rawa-rawa dibangun perumahan. Jadi ini soal tata kelola kota.
Jangan cepat-cepat menghadirkan Tuhan di dalam peristiwa-peristiwa yang sebenarnya akibat ulah tangan manusia. Justru ketika kita katakan itu azab dari Tuhan, kita jadi tidak pernah belajar manajemen bencana, ilmu pengetahuan tentang alam, bagaimana cara kerja alam dan lain-lain.

Misalnya dalam peristiwa banjir Wasior di Papua. Presiden SBY bilang bukan karena penebangan hutan. Tapi kemudian Komnas HAM dan lainnya menganggap andil terbesar adalah karena penebangan hutan. Pemanasan global, misalnya, membuat musim tidak menentu. Para petani kerepotan karena mereka mengandalkan turunnya hujan yang jadwalnya harus tepat waktu. Pemanasan global jelas karena ulah manusia, bukan azab hasil “ulah” Tuhan. Tapi petani buru-buru mengatakan ini azab dari Tuhan. Ada cerita lucu, orang-orang kaya tidak mau segera naik haji karena takut “dibalas” oleh Tuhan di Mekah sana. Mereka percaya Tuhan akan turun langsung di sana. Apa yang menimpa mereka dan mereka anggap “pembalasan”. Itu kan peristiwa yang biasa saja, bisa terjadi di Mekah dan di tempat-tempat lainnya.

Mungkinkah Tuhan itu memberikan hukuman secara langsung kepada manusia?

Menurut saya, hukuman Tuhan itu tidak langsung. Misalnya Anda berzina lantas tiba-tiba besoknya Anda terbakar, atau tiba-tiba tubuh Anda ditolak oleh bumi, kan tidak begitu. Tuhan pun menyerahkan ini semua kepada hukum alam. Jadi siapa yang menodai prinsip-prinsip dasar kemanusiaan maka ia akan menerima efek buruknya.

Mengapa harus menyerahkan pada hukum alam?

Baik. Tuhan membuat semacam undang-undang. Nyatanya, siapa yang menebang pohon secara liar dan lain-lain akan menerima efek buruknya. Apakah ia beriman atau tidak beriman, itu bisa dipastikan. Jadi hukum alam yang berlaku bagi siapa saja. Karena itu, menurut saya, dengan undang-undang yang telah dibuat oleh Allah mestinya manusia mampu menangkap hukum Tuhan yang menjelma dalam hukum alam. Misalnya, siapa yang melakukan penyumbatan pada saluran air maka efeknya ke mana-mana. Itu hukumnya sudah begitu. Mestinya masyarakat mengerti bagaimana menangkap hukum alam. Hukum alam dapat dipahami melalui ilmu-ilmu yang dicapai oleh perkembangan ilmu pengetahuan modern sekarang. Msialnya, soal ekologi dan gempa. Ini kan sudah dipelajari. Termasuk soal gunung merapi. Soal gunung merapi itu tidak bisa diatasi dengan bertapa, berpuasa Senin-Kamis. Itu tidak bisa karena semua itu urusan alam. Dan gunung Merapi memang gunung yang paling aktif di dunia. Maka, siapa tinggal di situ akan kena dampaknya. Mestinya masyarakat pelan-pelan mulai menghindardari wilayah rawan bencana seperti ini. Jadi masyarakat harus disadarkan. Dipulihkan dari pandangan keagamaannya yang begitu, sehingga tidak serta-merta menyalahkan Tuhan; memandang bencana sebagai azab bagi orang yang durhaka, misalnya.

Tuhan sudah memberi hukum alam, sudah ada tanda gunung akan meletus...

Iya, mau meletus. Maka kamu menghindar. Sudah diperingatkan gelombang laut tinggi sekali, maka kamu dilarang melaut untuk sementara. Jadi tanda-tanda itu selalu ditemukan oleh akal pikiran manusia dalam bentuk ilmu pengetahuan modern. Tapi kenapa kita tidak beriman pada ilmu pengetahuan? Inilah masalahnya.

Bagaimana soal penunjukkan kuncen (juru kunci) Merapi itu?

Jangan pernah menyerahkan urusan kepada yang bukan ahlinya. Ini bahasa agama: idza wusidal amru ila ghoiri ahlihi fantazhiris sa’ah. Kalau satu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, bukan ahli gunung Merapi menjadi juru kunci gunung Merapi, ya tunggu saat kehancurannya. Karena itu kita sangat menyesalkan sejumlah orang yang bersama sang juru kunci ini tidak mau turun. Kalau saya, misalnya, bisa memahami Mbah Maridjan dengan segala keterbatasan pendidikan. Ia hidup di zaman di mana ilmu pngetahuan belum terlalu bisa diketehui dengan baik. Saya bisa memahami cara berfikir Mbah Maridjan. Yang tidak saya mengerti adalah anak-anak muda, generasi muda, sebagian wartawan yang bertahan bersama Mbah Maridjan di situ. Padahal kan bunyi sirine sudah berkali-kali. Kalau kita perhatikan di majalah Tempo dijelaskan bahwa kronologi lahar panas turun tidak sekaligus: ada dua menit, sepuluh menit dan seterusnya. Jadi gunung Merapi itu berkali-kali memberikan sinyal agar orang-orang pindah. Tapi ada orang yang tetap bertahan. Naifnya, orang-orang yang berilmu itu, yang sarjana, tidak mau turun. Itu yang sangat saya sayangkan. Karena itu, jangan-jangan gunung Merapi tidak memerlukan juru kunci. Yang diperlukan adalah kesadaran dari masyarakat secara umum untuk tidak tinggal di daerah-daerah seperti itu. Kok gunung Merapi ada juru kuncinya? Itu timbulnya dari mana?

Kalau soal karma?

Ada sebuah hadis yang menyatakan “Barangsiapa mencacimaki perilaku orang lain atas dosa yang ia lakukan, ia tidak akan mati kecuali melakukannya”. Maksudnya bahwa dalam kasus spesifik yang disebutkan oleh penanya antara kasus Presiden Sukarno dan Suharto. Suharto memperlakukan Sukarno begitu rupa, kemudian ia mengalami hal yang sama. Kenapa hal itu bisa terjadi? Karena presiden kedua ini tidak mau belajar dari kesalahan pemimpin sebelumnya. Ia melakukan kesalahan yang sama. Nah, kalau ia tetap memperlakukan hukum besi dalam mengelola pemerintahan, bertindak diktator dan sangat otoriter, maka hukumnya sama dengan pemimpin sebelumnya. Mau Hitler, Firaun atau siapa pun yang bersikap otoriter pasti tidak diperlakukan dengan baik. Bahkan selama 32 tahun itu tidak ada kebaikan yang dikenang. Karena masyarakat merasa tertindas oleh sejumlah perilaku dan tindakan yang ia lakukan. Bayangkan dengan Gus Dur yang hanya satu tahun lebih sedikit menjadi presiden. Ia dikenang begitu rupa oleh masyarakat dan seakan-akan kebaikan terus memancar dari dirinya. Padahal hanya satu tahun jadi presiden. Kenapa orang bisa lupa yang 32 tahun itu? Nah, saya khawatir kalau Presiden SBY tidak cepat belajar dari presiden-presiden sebelumnya, 10 tahun pemerintahannya tidak akan dikenang, akan dilupakan.

Mestinya karma itu bisa dihindari kalau kita mau belajar?

Mestinya. Karena kita bisa belajar dari orang lain, jangan sampai kesalahan yang kita lakukan itu sama. Misalnya kisah tentang Nabi Luth di dalam kitab suci. Saya menduga itu sebuah kisah fiksi. Kisah fiksi pun ada nilai yang diusung bahwa kira-kira ini filmnya horor. Kalau begitu, awas akan begini dampaknya. Itu kan berhadapan dengan masyarakat yang tidak tunduk pada hukum, masyarakat yang mengabaikan prinsip-prinsip moral publik.
Ya, itu penting sekali untuk dijelaskan karena banyak orang yang mengatakan bahwa azab itu rujukannya adalah kitab suci. Mereka percaya bahwa zaman dulu ada preseden di mana orang yang berbuat maksiat pasti ditenggelamkan. Apakah ada unsur-unsur gaib dalam bencana?
Apakah ada unsur-unsur gaib dalam bencana ini, kata al-Quran “la ya’lamul ghaiba illallah”, tidak ada yang tahu tentang hal gaib itu kecuali Allah. Nabi Muhammad sendiri tidak tahu. Sesuatu yang gaib itu hanya Allah yang tahu. Jadi tidak relevan kalau kita membicarakannya. Biarkanlah itu menjadi misteri.

Karena kalau kita membicarakan juga tidak bakalan tahu gitu ya?...

Biarlah itu menjadi misteri Tuhan saja. Kita bicarakan yang terang-benderang saja bahwa ini ada gunung Merapi yang aktif, bagaimana cara kita menangani. Sebagian besar wilayah kita adalah wilayah yang rawan bencana. Ini yang seharusnya kita pikirkan sebagai masyarakat yang memiliki wilayah domisili yang rawan terhadap bencana. Karena itu harus diserahkan kepada ahlinya. Ahlinya siapa? Merapi diserahkan kepada orang yang ahli di bidang itu, tapi bukan SBY. SBY kan sebagai leader. Karena itu segala kebijakannya harus mengarah kepada cara pengelolaan yang harus ada di daerah-daerah seperti itu. Tetap harus diserahkan kepada ahlinya. Kemampuan untuk memimpin dan lain-lain itu adalah keahlian juga.

Mungkin ia tidak tahu secara detail soal gunung Merapi?

Apakah ia seorang tentara, dokter atau lainnya, kalau dia punya kemampuan memimpin, maka ia dapat dipilih oleh masyarakat untuk memimpin. Dan dengan itu ia bisa mengangkat banyak menteri yang ahli di bidangnya kemudian segala persoalan bisa ditangani dengan baik.

Sebagai penutup?

Ya, bencana ini bisa dilihat dari sudut pandang ilmu pengetahuan modern. Misalnya, di bagian barat Sumatera itu adalah wilayah yang rawan bencana tsunami dan rawan gempa bumi. Terdapat sejumlah gunung berapi yang aktif di Indonesia. Karena itulah, masyarakat dengan kecanggihan teknologi dan temuan-temuan ilmiah, bisa menyesuaikan diri terhadap keadaan seperti ini. Di daerah-daerah rawan gempa, kita menjadi tahu bagaimana cara merancang bangunan rumah. Kita bisa belajar dari Jepang. Daerah yang rawan bencana, cara membangun rumahnya disesuaikan dengan kondisi itu. Jadi kita harus beradaptasi dengan alam dan lingkungan.

Jadi harus pandai-pandai melihat hukum alam ini ya?...

Jangan bunuh diri. Pesan terakhirnya jangan bunuh diri. Ketika gunung sudah meletus, ya kita harus menyelamatkan diri. Nabi saja, yang maksum, disuruh hijrah. Jangan bunuh diri dengan nekat mengahadapi serangan orang-orang musyrik Mekah ketika itu.