Jumat, 08 Oktober 2010

OTONOMI DAERAH Desentralisasi Korupsi?

Oleh SUWARDIMAN

Korupsi menjadi ironi semangat desentralisasi yang berkembang. Alih-alih mendekatkan rakyat kepada kesejahteraan lewat pemerataan pembangunan, otonomi daerah justru menjadi lahan subur ”pemerataan” korupsi. SUWARDIMAN

Pilkada tampaknya kini kerap dimaknai dengan logika dagang. Betapa tidak, potret politik yang cenderung bersifat transaksional ini sudah terjadi sejak awal proses penyelenggaraan demokrasi lokal. Semenjak tahapan awal pilkada, calon kepala daerah dituntut memiliki modal yang kuat karena mahalnya biaya politik. Keadaan itu ditambah pula dengan perilaku pemilih yang terdorong semakin pragmatis sehingga muaranya proses pemilihan kepala daerah yang transaksional dan koruptif.

Siklus balas jasa tersebut menyebabkan maraknya kepala daerah produk pilkada langsung terseret kasus korupsi. Dari 54 kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah atau mantan kepala daerah sepanjang 2005-2010, separuh lebih terkait penyelewengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan sepertiga lebih terkait tender proyek. Sisanya korupsi terkait penyalahgunaan alokasi dana lainnya, seperti dana bantuan sosial atau kas daerah (lihat peta).

Pengakuan sejumlah mantan kepala daerah/wakil kepala daerah memperkuat fakta munculnya praktik balas jasa kepada mayoritas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Proses pencalonan kepala daerah diakui membutuhkan biaya sangat tinggi, bahkan mencapai puluhan miliar rupiah. Hadi Supeno, mantan Wakil Bupati Banjarnegara, membeberkan pola korupsi di daerah dalam buku yang ditulisnya, Korupsi di Daerah: Kesaksian, Pengalaman, dan Pengakuan, 2009.

Mantan Wali Kota Tarakan Yusuf SK memiliki pengalaman tak jauh berbeda. Pada saat pilkada mendekat, sejumlah kelompok bisnis mendatangi calon untuk menawarkan dana dukungan menjelang pilkada. Calon kepala daerah yang menang nantinya akan dimintai kompensasi berupa alokasi proyek atau izin penyediaan lahan.

Di satu sisi, modal yang dikeluarkan kandidat saat pilkada sangat besar, tidak sebanding dengan pendapatan total selama menjabat, sekitar Rp 50 juta per bulan. Sebaliknya, pengeluaran kepala daerah—meliputi berbagai bantuan untuk kelompok dan individu dan menjadi ”kewajiban” seorang kepala daerah—jauh lebih besar jumlahnya. Ujung- ujungnya, pengeluaran ini dianggarkan dalam APBD alias melakukan korupsi.

Keuangan daerah memang menjadi sektor paling rawan korupsi dengan APBD sebagai obyek korupsinya. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan, terjadi 38 kasus korupsi di keuangan daerah pada semester pertama 2010, meningkat dari 23 kasus periode yang sama tahun 2009. Beberapa kasus APBD dengan potensi kerugian negara sangat besar selama tahun 2010 di antaranya adalah pembobolan kas daerah Aceh Utara sebesar Rp 220 miliar, APBD Indragiri Hulu sebesar Rp 116 miliar, kas daerah di Pasuruan, Jawa Timur, sebesar Rp 74 miliar, dan dana otonomi daerah di Boven Digoel sebesar Rp 49 miliar.

Secara keseluruhan, ICW mencatat dua kali lipat lebih penindakan kasus korupsi selama semester pertama 2010 dengan 176 kasus korupsi mengakibatkan kerugian negara Rp 2,1 triliun.

Perilaku pemilih

Praktik desentralisasi politik, secara teoretis, adalah jalan untuk mendistribusikan kekuasaan sentralistik menjadi lebih merata ke tingkat lokal. Pemilihan kepala daerah langsung pun ditujukan untuk menciptakan pemerintahan daerah yang akuntabel. Penguasa lokal diharapkan mampu lebih responsif terhadap kepentingan rakyat yang langsung memilihnya.

Sistem pemilihan langsung hanya akan bermakna bila diselenggarakan dalam perspektif demokrasi substansial, yaitu ditunjang perilaku demokratis, baik dari elite lokal maupun masyarakat pemilih. Perilaku dimaksud adalah pemilih memiliki pendidikan politik yang cukup dan menetapkan pilihan politik berdasarkan kesadaran rasional terhadap calon-calon yang bertarung di pilkada.

Masalahnya, perilaku politik, baik dari kandidat maupun pemilih, saat ini sama-sama cenderung terdorong ke arah yang tak diperhitungkan sebelumnya. Mengutip Syarif Hidayat (Deepening Democracy in Indonesia, 2009), arti kata modal saja bagi kandidat kepala darah saat ini tidak hanya berupa modal politik, tetapi juga modal finansial. Modal politik bersumber pada partai politik, tokoh informal, ataupun kemampuan berpolitik, sementara modal finansial adalah kekayaan pribadi kandidat atau pihak lain yang satu kelompok kepentingan.

Kecenderungan perilaku pemilih saat ini yang semakin ”pragmatis” dan ”transaksional” sedikit banyak terindikasi dari kecilnya rentang waktu dalam menentukan pilihan politik. Beberapa hasil penelitian memperlihatkan, saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta, misalnya, separuh responden baru menetapkan keputusan pada hari-H pencoblosan, sementara 31,4 persen responden seminggu sebelumnya. Hasil survei Kompas selama pilkada di Jawa Barat dan Jawa Timur juga menunjukkan sekitar 20 persen pemilih baru memutuskan pilihan mereka pada hari pelaksanaan pemilu.

Meski tak seluruh indikasi tersebut dimotivasi keinginan responden menunggu ”serangan fajar”, tetapi tak pelak pola demikian membuka lebar peluang tim sukses pasangan calon melakukan praktik politik uang. Faktanya, merujuk pada berbagai gugatan pilkada di Mahkamah Konstitusi, nyaris semua dalil penggugat yang jumlahnya ratusan kasus itu diwarnai laporan perihal terjadinya praktik politik uang.

Petahana bermasalah

Bertemunya dua kebutuhan, yakni modal politik dan modal kapital, pada awal proses pembentukan pemerintahan daerah melahirkan berbagai bentuk transaksi pasca-terbentuknya pemerintahan. Transaksi politik dan transaksi bisnis berkelindan sebagai buah investasi berbagai pihak yang menjadi sponsor hingga terpilihnya seorang kandidat menjadi kepala daerah. Model transaksional ini menurut Syarif Hidayat pada akhirnya melahirkan praktik ”pemerintah bayangan”, yakni kekuatan informal yang berdiri di balik panggung kekuasaan dan menyetir kerja pemerintahan sebenarnya.

Dengan situasi itu, tak heran bila pasca-pemilihan gubernur atau bupati kebijakan yang ditelurkan dirasa janggal oleh publik atau berpihak secara tidak wajar kepada kelompok tertentu. Dengan pola imbal balik demikian, tak heran pula jika seorang calon kepala daerah bermasalah bisa terpilih kembali.

Pilkada Kabupaten Boven Digoel, Papua, dan Kepulauan Aru menjadi contoh. Petahana Boven Digoel, Yusak Yaluwom, menang dengan 43,7 persen suara, padahal dia tersangka korupsi APBD Boven Digoel tahun 2005-2007 senilai Rp 49 miliar. Adapun petahana Kepulauan Aru, Teddy Tangko, menang dengan 42,7 persen suara, terjerat kasus korupsi APBD 2005-2007 sebesar Rp 30 miliar. Tak hanya Yusak dan Tangko, setidaknya tercatat lima petahana lain yang dalam status tersangka korupsi, tetapi terpilih kembali sebagai kepala daerah. (LITBANG KOMPAS)

ANOMALI


Tahanan Pun Menang Pilkada

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, selalu saja penuh dengan orang-orang dari Boven Digoel, Papua, saat Bupati mereka, Yusak Yaluwo, disidang. Walaupun didakwa melakukan korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Boven Digoel tahun 2005 hingga 2007 senilai Rp 49 miliar, tetapi Yusak mengklaim dia tetap ”didukung”.

Petahana ini memenangi pemilu kepala daerah (pilkada) Boven Digoel walaupun saat itu sudah berstatus tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kemenangan Yusak Yaluwo dalam pemilihan bupati Boven Digoel pada Agustus 2010 sempat mengherankan Wakil Ketua KPK Haryono Umar. Yusak adalah petahana yang menjadi tersangka dalam perkara dugaan korupsi APBD Boven Digoel. Pada 15 April 2010 KPK menjemput paksa dia dan menahannya hingga kini.

”Kemungkinan besar masyarakat tidak mendapat informasi lengkap. Kalau sudah jadi tersangka, akan jadi terdakwa. Kalau sudah terdakwa, menurut undang-undang, biasanya dicopot. Ini juga justru nanti akan menjadi kendala (pemerintahan) di Boven Digoel,” tutur Haryono di Jakarta.

Mantan Wakil Bupati Banjarnegara, Jawa Tengah, Hadi Supeno mengaku tak heran dengan kemenangan Yusak ataupun petahana lain tersangka korupsi. ”Pilkada semuanya hanya masalah uang. Yang mau bayar, pasti menang,” kata dia.

Selain Yusak, Wali Kota Tomohon, Sulawesi Utara, Jefferson Rumajar, yang tengah jadi tersangka KPK dalam perkara dugaan penyalahgunaan APBD hingga Rp 19,8 miliar, juga memenangi pilkada pada 3 Agustus lalu.

Berdasarkan penelitian Indonesia Corruption Wacth, lima petahana tersangka korupsi oleh Kejaksaan telah memenangi pilkada periode 2010- 2015, yaitu Bupati Rembang (Jateng) Moch Salim, Bupati Kepulauan Aru (Maluku) Theddy Tengko, Bupati Lampung Timur (Lampung) Satono, Wakil Bupati Bangka Selatan (Bangka Belitung) Jamro H Jalil, dan Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamudin.

”Korupsi menjadi suatu yang salah kaprah, salah tetapi dianggap umum. Bagi pejabat di daerah, korupsi dianggap masalah kesempatan. Mereka antre kapan memperoleh kesempatan. Sedangkan di masyarakat ada internalisasi nilai, korupsi menjadi wajar. Tidak dianggap aib lagi,” kata Hadi.

Karena itu, dia merasa tak mengherankan lagi, petahana tersangka korupsi, bahkan yang sudah disidang, masih memenangi pilkada.

Selain aturan tak jelas, menurut Hadi, etika politik di daerah sama sekali diabaikan. ”Ada juga tren orang sudah jadi kepala daerah dua kali masa jabatan, daftar menjadi wakil kepala daerah. Ada lagi, bupati yang pindah ke kabupaten tetangga daftar jadi wakil bupati,” kata dia.

Menurut Hadi, banyak yang berharap menjadi pejabat bukan karena visi atau ingin mengubah daerah jadi lebih baik, tetapi benar-benar memimpikan fasilitas jabatan.

Keuangan daerah memang jadi kue rebutan aktor korup, termasuk pejabat dan calo dari pusat. Kebanyakan proyek di daerah dirancang jauh hari oleh pengusaha rekanan dengan penguasa sebelum ada pembahasan anggaran. Tender hanya main-main.

Hadi mengakui, beberapa daerah kini menyewa mantan karyawan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengawal APBD. ”Namun, tujuannya lebih mengakali anggaran. Bukan mengatur agar lebih baik, tetapi bagaimana mencurinya,” kata dia.

Menurut Hadi, walaupun yang menjadi aktor utama korupsi di daerah adalah pejabat dan pengusaha setempat, pejabat di tingkat pusat juga terlibat. ”Hampir semua dana yang diturunkan ke daerah pasti ada konsesi. Zaman saya menjabat, biasanya sampai 8 persen. Untuk pejabat di pusat 5 persen dan 3 persen kembali ke kepala daerah melalui calo di pusat,” ujar dia.

Yang paling banyak disunat adalah dana alokasi khusus. ”Dana itu tak mungkin turun tanpa negosiasi, harus ada proposal dulu. Proposal menumpuk di meja pengambil keputusan. Butuh negosiasi. Negosiasi itu tidak gratis,” tuturnya.

Praktik itu, menurut Hadi, masih berlangsung hingga kini dan hampir semuanya tutup mata. ”Baru-baru ini saya masih menemui wali kota dan bupati yang keluyuran di DPR. Mau apa kalau bukan negosiasi anggaran atau ketemu calo-calo?” kata dia.

Tak langsung

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi melihat perlu ada usaha memperbaiki situasi. Salah satunya dengan mengurangi jumlah pilkada langsung. Untuk itu, ia mengusulkan gubernur tak lagi dipilih langsung mengingat ia wakil pemerintah pusat di daerah. Kompensasinya, gubernur diberi kewenangan besar oleh pemerintah pusat.

”Ada orang yang mengatakan, di mata bupati, gubernur nanti menjadi tidak berwibawa karena tidak dipilih langsung. Menteri juga tak dipilih langsung dan apakah menjadi tidak berwibawa? Kewibawaan tidak terletak pada dipilih langsung atau tidak dipilih langsung, tetapi terletak pada kewenangan yang dimilikinya,” ujar Gamawan.

Gagasan lain, membatasi pengeluaran calon. Caranya, area pemasangan atribut kampanye dibatasi. Pengerahan massa juga dilarang sebab mendatangkan ribuan orang perlu biaya besar.

Ide lain, mengatur bukan calon yang mencari uang, melainkan partai pendukung yang bertugas mengumpulkan uang. Hal ini dilakukan di sejumlah negara lain. Partai berkeliling mencari dana dengan ”menjual” calon yang didukung. (AIK/ato)

KORUPSI DI PILKADA


Sekarung Beras di Mahkamah Konstitusi

Ini bukan cerita tentang pembagian jatah beras untuk pegawai negeri sipil di instansi pemerintah. Cerita sekarung beras ini ada dalam persidangan Mahkamah Konstitusi atau MK. Pada 30 September lalu sekarung beras dihadirkan pihak yang berperkara, khusus dibawa dari Papua Barat. Beras itu adalah barang bukti.

Kuasa hukum pemohon sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, meminta majelis hakim membuka karung beras itu. Mereka mendengar di dalamnya juga ada amplop berisi uang.

Permintaan itu mengundang sanggahan dari kuasa hukum pemenang pilkada Kabupaten Teluk Wondama, yang menjadi pihak terkait dalam perkara itu. Kuasa hukum pemenang pilkada pun mengajukan keberatan dan meminta karung itu tak dibuka.

Hakim konstitusi yang menyidangkan perkara itu tetap meminta karung itu dibuka. Memang benar, di dalamnya terdapat amplop berisi uang Rp 50.000. ”Nanti, kami yang akan menilai,” kata hakim konstitusi Fadlil Sumadi, menanggapi keberatan pihak terkait yang menduga uang itu dimasukkan pemohon.

Cerita tentang pemberian para pasangan calon kepada rakyat pemilih beragam. Dari pemberian kain sarung di Kabupaten Simalungun atau Pesawaran, misalnya, bahan pangan/makanan pokok, peralatan sekolah, pembuatan fasilitas umum seperti lapangan sepak bola yang dibiayai calon, hingga yayasan pondok pesantren atau panti asuhan yang tiba-tiba tersengat bantuan nomplok.

Membeli suara masih juga dilakukan, semacam gerakan serangan fajar. Misalnya, calon mendatangi rumah dan membagikan uang Rp 50.000 seperti dikemukakan saksi dalam sidang perselisihan hasil pilkada Kabupaten Bandung.

Untuk calon yang petahana (atau calon yang masih memiliki hubungan dekat dengan petahana, seperti istri bupati), cerita mungkin sedikit bervariasi. Mereka bisa memanfaatkan program pemerintah daerah, seperti pembangunan jalan, bantuan warga miskin, bantuan korban banjir, kebijakan layanan publik, atau menggratiskan pembuatan KTP atau pajak bumi dan bangunan.

Cerita di atas adalah berbagai modus yang terungkap di persidangan MK. Hingga saat ini, MK telah menangani setidaknya 174 perkara. Sudah sering diakui, politik uang memang terjadi di hampir seluruh pilkada. Kalau pada 2010 ini terdapat 244 pilkada, maka hampir di seluruhnya terjadi praktik-praktik tersebut.

Modus baru

Ada modus baru yang terungkap di persidangan, yaitu penggunaan tim relawan. Beranggotakan puluhan hingga ratusan ribu orang, tim itu juga termasuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) di wilayah bersangkutan. Seperti terungkap dalam putusan MK untuk perkara sengketa pilkada Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Kalimantan Tengah, anggota tim relawan pasangan calon Sugianto-Eko Sugianto berjumlah 78.238 atau sekitar 62,09 persen dari total pemilih.

Relawan itu mendapat uang Rp 150.000-Rp 200.000. Dalam putusannya, MK membatalkan penetapan pasangan calon terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kobar.

Hampir serupa dengan di Kobar, MK pun memerintahkan pencoblosan ulang di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. MK menemukan adanya tim relawan yang berjumlah 122.560 orang dari pemilih 209.468 orang. Salah satu pasangan calon, Hidayat Batubara-H Dahlan Nasution, membagikan surat keputusan relawan senilai Rp 20.000 hingga Rp 100.000 kepada masyarakat selama proses pilkada.

Praktik politik uang yang masif semacam ini sungguh mengkhawatirkan. Setidaknya hal itu diungkapkan hakim konstitusi Hamdan Zoelva. Besarnya biaya untuk membeli suara pemilih tidak sebanding dengan penghasilan kepala daerah. Inilah yang kemudian memacu perilaku koruptif.

”Biaya kampanye tidak wajar. Seakan-akan untuk kampanye, tetapi ternyata untuk politik uang. Kadang sistematif, masif, dan terstruktur. Kalaupun terpilih, tentu mereka berpikir mengembalikan uang,” ujar Hamdan.

Lantas dari mana uang sedemikian besar yang harus dikeluarkan pasangan calon? Kalau itu berasal dari investor atau pengusaha, jelas Hamdan, hal itulah yang menumbuhsuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Pemilih emosional

Maraknya praktik politik uang dalam pilkada pun menarik perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Wakil Ketua KPK bidang Pencegahan Haryono Umar mengatakan, masyarakat kerap tidak mendapat informasi cukup sehingga ketika pemilihan digelar, tidak memilih secara rasional, tetapi secara emosional.

Mereka mudah diiming-imingi dengan bayaran atau hadiah. Akibatnya, untuk meraih dukungan mereka, calon tidak segan merangkul promotor guna memberi dukungan dana. Apalagi, menurut Haryono Umar, sistem pemilihan membutuhkan biaya sangat mahal. ”Kondisi politik kita harus dibenahi karena tidak baik untuk pemberantasan korupsi,” tutur dia.

Seorang calon, tuturnya, tidak hanya harus menyisihkan dana berkampanye, tetapi juga meminang partai pendukung. Maju dengan modal terbatas akan riskan, apalagi jika calon belum dikenal dan tidak memiliki catatan mengesankan.

Masuknya dana pendukung dari promotor diduga kuat akan berujung pada praktik korupsi. Di sisi lain, bagi petahana, penggunaan dana bantuan sosial serta dana hibah untuk mengikat konstituen juga perlu dicermati.

Apalagi pertanggungjawaban dana hibah dalam APBD itu kerap tidak jelas. ”Harus dicegah menyeluruh. Kami akan bicara khusus dengan Depdagri untuk meningkatkan kinerja dan pengelolaan keuangan daerah,” kata Haryono lagi.

Sekjen Transperancy International Indonesia (TII) Teten Masduki mengatakan, praktik jual-beli suara rakyat melalui tokoh dalam pilkada, bahkan pemilihan umum, merupakan fenomena perubahan dari era otoriter menjadi populer.

Yang mengkhawatirkan, praktik itu dahsyat terjadi. Pemenangan pilkada, tutur Teten, kerap semata-mata karena kekuatan uang, bukan program.

Implikasinya, tekanan tidak hanya menguat pada penggunaan dana publik, seperti dana hibah atau bantuan sosial, tetapi juga efek jangka panjang pada sumber keuangan daerah lainnya.

Apalagi pada saat bersamaan struktur politik tidak bekerja optimal. Ujungnya, kompromi dengan para penyandang dana melalui kontrak bisnis, pemberian izin lokasi dan dana hibah, hingga lahirnya program mercusuar dan bantuan sosial yang menyerap habis keuangan daerah demi popularitas petahana.

TII, ungkap Teten, akan membicarakan hal itu dengan Menteri Dalam Negeri. Selain itu, menurut Teten, salah satu solusi mereduksi praktik politik uang dan transaksi politik dalam pilkada adalah memperketat dana kampanye, memperkuat pendidikan politik, serta menegakkan pidana pemilu. Juga gagasan menyederhanakan sistem pemerintahan melalui penunjukan gubernur oleh presiden.

Secara terpisah, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengakui, persoalan korupsi oleh kepala daerah sebagai akibat mahalnya biaya pilkada langsung sedang hangat dibicarakan. Dia sampai diundang Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) untuk berbicara khusus mengenai masalah itu.

”Jadi, ini fenomena baru di negara kita. Dulu, sebelum reformasi, menjadi bupati/wali kota itu enak. Kalau tiga jalur (ABRI, birokrat, dan Golkar) setuju, tinggal tunggu pelantikan karena Golkar sangat kuat waktu itu. Kita hampir tidak memerlukan modal,” ujar Gamawan, yang juga mantan Bupati Solok, Sumatera Barat, dan Gubernur Sumbar. (ato/jos/ana)

PEMILIHAN KEPALA DAERAH


Politik Uang, Sisi Gelap Demokrasi

Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2007 tidak hanya berlangsung tanpa gejolak, tetapi juga membuka sisi gelap demokrasi. Dari kisah tercecer pemilihan kepala daerah di Ibu Kota, Mayor Jenderal (Purn) Djasri Marin dan Mayor Jenderal (Purn) Slamet Kirbiantoro terang-terangan menagih uang mereka, yang telah diberikan kepada partai politik. Keduanya mengaku menjadi ”korban” politik.

Djasri mengaku menyetor Rp 50 juta saat mendaftar sebagai bakal calon. Setelah itu, ia dimintai uang oleh sejumlah pengurus partai untuk musyawarah kerja, rapat pimpinan, sosialisasi, dan alasan lain. Ia mengeluarkan Rp 3 miliar. Sebagian disertai tanda terima. Slamet juga mengaku memiliki bukti dari dana yang ditransfer kepada pengurus partai. Keduanya ditawari menjadi calon gubernur atau wakil gubernur (Kompas, 16/6/2007).

Keberanian Djasri dan Slamet membuka permainan parpol itu menjadi semacam konfirmasi bahwa selama ini memang ada ”jual beli” dalam pencalonan seseorang menjadi kepala daerah. Nilai ”perdagangan politik” itu tak murah, miliaran rupiah.

Kisah Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip tahun 2005, yang pada periode pertama dicalonkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, lalu berganti partai pengusung, diduga juga terkait mahalnya biaya untuk partai itu. Meski tak pernah terbuka diakui, ketika mencalonkan kembali, Sukawi diusung Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Saat mencalonkan diri sebagai gubernur Jawa Tengah tahun 2009, Sukawi diusung Partai Demokrat.

Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki pun pernah disebut-sebut sebagai calon gubernur Banten tahun 2007. Namun, akhirnya ia tidak pernah maju sebagai calon. ”Enggak punya uang,” katanya saat itu.

Agustin Teras Narang, Gubernur Kalimantan Tengah, Senin (4/10) di Jakarta, mengakui, untuk menjadi calon kepala daerah, ada bantuan dari partai. ”Tetapi tak banyak karena saya diusung satu partai saja,” katanya. Apalagi ia adalah petahana. PDI-P mendukung sepenuhnya.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menuturkan, ada perbedaan menjadi calon kepala daerah pada masa lalu dan sejak masa reformasi tahun 1998. Ia tak mengeluarkan sepeser uang pun saat menjadi Bupati Solok, Sumatera Barat, periode 1995-2000. Ia dipilih anggota DPRD dan lancar karena disetujui tiga jalur, yakni ABRI, birokrasi, dan Golongan Karya.

Namun, situasi berubah. Saat mencalonkan diri sebagai gubernur Sumatera Barat tahun 2005, ia menghabiskan biaya sekitar Rp 3,5 miliar. Jumlah ini relatif kecil untuk pencalonan gubernur.

”Dana Rp 3,5 miliar itu hasil sumbangan banyak orang. Ada yang membawa stiker ke posko. Posko pun hanya saya sewa selama tiga bulan,” kata Gamawan, peraih Bung Hatta Anticorruption Award tahun 2004.

Ia mengakui, ada calon gubernur yang harus menyediakan uang Rp 50 miliar untuk membiayai pencalonannya. Sumber dana bisa macam-macam, termasuk ”investasi” pengusaha.

Hadi Supeno, mantan Wakil Bupati Banjarnegara, Jawa Tengah, juga mengakui sempat gamang saat ada beberapa pengusaha di daerah asalnya menawarinya siap menjadi sponsor untuk pencalonan dirinya sebagai bupati. Namun, tawaran itu tak gratis. Mereka meminta proyek di daerah itu harus diserahkan kepada promotor. Hadi menolak. Ia juga kalah pada Pilkada Banjarnegara tahun 2006.

”Pilkada masih menjadi ajang percaloan. Bahkan, sepertinya lebih parah lagi sekarang,” kata Hadi, yang menuliskan pengalamannya itu dalam buku berjudul Korupsi di Daerah: Kesaksian, Pengalaman, dan Pengakuan. ”Pilkada butuh banyak uang. Bagi yang tengah menjabat (petahana), dalam dua tahun terakhir pasti jorjoran cari uang dari proyek. Bagi yang tak menjabat, pasti cari dana dari sponsor. Padahal, tiada makan siang gratis,” katanya.

Teras Narang mengakui, tidak jarang kepala daerah yang masih menjabat, saat mencalonkan diri lagi, memainkan APBD untuk meningkatkan keterpilihannya. Dana bantuan sosiallah yang bisa dimainkan. ”Sebab itu, setahun sebelum pilkada, saya tidak mengeluarkan dana bantuan sosial. Pemberian bantuan, dengan dana bantuan sosial, menjelang pilkada, dapat saja dianggap politik uang,” katanya. Tak sedikit kepala daerah yang terjerat kasus korupsi terkait APBD.

Beban biaya

Selain bantuan dana dan barang dari pendukung, tak jarang calon kepala daerah terpaksa berutang atau menjual harta bendanya untuk membiayai pencalonan dan kampanye. Jika menang dan terpilih, ia bisa mengembalikan pinjaman itu. Namun, jika gagal, ia bisa berhadapan dengan masalah hukum.

Kisah pengusaha Sutoto Agus Pratomo, yang Juni 2010 ditemukan tewas gantung diri di kantornya, bisa menjadi bahan renungan. Istri Sutoto, Dasih Ardiyantari, adalah calon wakil wali kota Semarang pada Pilkada 2010. Dasih kalah. Kematian Sutoto diduga terkait beban biaya politik yang harus ditanggungnya setelah istrinya gagal.

Juni 2010, Memet Rochamad juga ditemukan tewas gantung diri di rumahnya di Jaka Sampurna, Bekasi, Jawa Barat. Memet adalah calon bupati Bekasi pada pilkada tahun 2007, tetapi gagal. Kematiannya juga diduga terkait dengan depresi atas kekalahannya dan penyakit stroke yang dideritanya.

Sebaliknya, Yuli Nursanto tahun 2008 tak sampai melakukan tindakan fatal. Namun, calon bupati Ponorogo, Jawa Timur, itu pernah lari dari Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Harjono, Ponorogo, hanya dengan memakai celana dalam. Ia juga pernah tiduran di trotoar sehingga menjadi tontonan warga. Namun, ia akhirnya dinyatakan sehat sehingga bisa diadili di Pengadilan Negeri Ponorogo atas dugaan penipuan dan penggelapan senilai Rp 2,9 miliar. Bisa jadi, uang itu adalah biaya pencalonannya. (aik/ato/tra)