Selasa, 05 Oktober 2010

Antara Kupluk dan Kopiah dan Pici

Alfan Alfian

Pada saat saya umroh ke Mekkah, sambil sembunyi-sembunyi saya bawa kamera di depan kakbah. Kadang-kadang leluasa, tetapi juga tidak untuk mengambil gambar di sana. Demikian pula untuk mengambil gambar di sekitar Masjidil Haram, kita harus menyesuaikan ada petugas yang melarang atau tidak.

Nah, hari itu agaknya susah, untuk ambil gambar. Saya naik ke lantai satu di Masjidil Haram itu, dan kemudian memotret saya sendiri dengan latar belakang kakbah. Tiba-tiba ada seseorang, kelihatannya dari Bangladesh, menyapa saya, menawarkan untuk memotret.

Rupanya ia memperhatikan apa yang saya lakukan dan tampak sungguh repot. Saya mengiyakannya, dan mulailah ia mengambil gambar saya. Saya mengucapkan terima kasih. Yang menarik, ketika ia bilang, “Kamu pasti orang Indonesia ya”.

Kok tahu? Ia lantas menunjuk peci alias kupluk saya. Walaupun ke Mekkah atau Medinah, saya konsisten memakai peci Indonesia, kupluk kebanggaan Bung Karno itu, bukan “peci atau kupluk haji”. Kupluk merupakan salah satu identitas kita, selain banyak benda-benda lain, termasuk sarung dan batik –kalau batik, bahkan Nelson Mandela pun suka.

***
Soal kupluk di Indonesia, yang tampaknya juga populer di Malaysia dan Brunei Darussalam itu, berbeda kisahnya dibandingkan dengan fez di Turki.

Di Turki, Mustafa Kemal Attaturk melarang penggunaan fez, kopiahnya orang Turki, seperti tarbus yang ada sliwir-nya itu. Fez, tampaknya juga beberapa piranti kalangan tarekat, tergilas oleh revolusi Attaturk, karena ia dipandang sebagai simbol kekunoan alias kekolotan.

Attaturk ingin modernisasi, westernisasi dan sekularisasi secara radikal pada dekade-dekade awal revolusi Turki. Dikatakan radikal karena ia berupaya keras membabat habis simbol-simbol agama, bahkan memaksa azan dengan bahasa Turki.

Fez adalah salah satu korbannya. Di Indonesia kupluk, lebih eksis dan survive. Bahkan kupluk yang sudah menjadi bagian dari sejarah nasionalisme Indonesia itu, masih dihargai sebagai bagian dari formalitas kenegaraan. Foto presiden dan para anggota kabinet, selain yang perempuan, semuanya berjas dan berpeci.

Setiap kali presiden, tentu selain Megawati, berpidato secara resmi di DPR, juga berpeci. Jadi, di Indonesia, kupluk masih sangat dihargai, dibandingkan dengan fez di Turki.

Marilah kita bernostalgia sejenak. Pada zaman pergerakan, kupluk mulai populer dipakai oleh kaum pribumi. Tetapi, bukan berarti kupluk hendak menyaingi blangkon. Adapun tentang blangkon sendiri, tampaknya ia susah untuk dijadikan simbol nasional, mengingat terlalu lekat pada sosok priyayi Jawa-keraton.

Kupluk dianggap lebih menasional, dan kebetulan juga praktis. Tidak ada perdebatan bertele-tele antara golongan, katakan, Nasionalis dengan golongan Islam mengenai pemakaian kupluk ini. Beda dengan sarung, misalnya, yang sempat menjadi bahan olok-olok politisi yang tak suka dengan golongan Islam, khususnya yang tradisionalis.

Soal sarung ini, konon D.N. Aidit sebagai pembesar Partai Komunis Indonesia (PKI) memprovokasi Bung Karno agar membubarkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dengan mengatakan, “Kalau tidak bisa bubarkan HMI, pakai sarung saja! ”.

Dalam sebuah kolom Catatan Pinggir, Goenawan Mohamad, juga mencatat olok-olok itu disampaikan oleh seorang aktivis Partai Nasional Indonesia (PNI), setidaknya untuk menunjukkan bahwa sarung identik dengan kaum santri yang kolot. Tetapi, tentu saja semua itu telah mengalami pergeseran pada masa kini, bahwa sarung dan peci bukan lagi simbol kekolotan, bahkan malah simbol kelas menengah Muslim yang semarak di hari raya.

Dalam hal peci, para tokoh golongan Nasionalis juga mengenakannya –sebut saja misalnya Ali Satroamodjojo, bahkan tokoh ini berjenggot pula. Tidak demikian halnya dengan tokoh-tokoh Komunis. Dalam foto-fotonya dengan Bung Karno dan pada rapat-rapat akbar mereka, D.N Aidit, misalnya tak pernah tampak berkupluk.

Tentu saja yang tidak berkupluk tidak lantas kurang nasionalis. Sjahrir, misalnya, lebih banyak tidak berkupluk dibanding Bung Karno dan Bung Hatta. Gaya berpakaian para tokoh kita tempo dulu, tampaknya tak lepas dari kenecisan gaya berpakaian kaum penjajah, dan bagaimana mereka merespons modernitas.

Bung Karno selalu necis dalam berpakaian. Berjas mentereng seperti orang Barat, tetapi, ia tak melepaskan identitas ketimurannya: kupluk. Demikian juga yang lain, termasuk Haji Agus Salim. Yang juga unik, barangkali, modifikasi pakaian Jenderal Sudirman, berpakaian modern tetapi diselinggi kupluk dan blangkon secara bergantian –saya belum pernah melihat foto Pak Dirman memakai topi baja, misalnya.

Para tokoh nasional kini memang tidak sehari-hari memakai kupluk. Para juru dakwah juga demikian. AA Gym, misalnya, malah pakai “ubel-ubel” seperti Pangeran Diponegoro. Kupluk memang bukan klaim kalangan santri, tetapi siapa saja bebas memakai dan juga tak memakainya.

Kalau tokoh buruh Mochtar Pakpahan day to day memakai kupluk, bukan berarti ia seorang ulama. Mochtar sendiri non-Muslim. Di kalangan aktivis muda, tampaknya jarang sekali yang day to day memakai kupluk, kecuali barangkali Ray Rangkuti.

Ulama atau bukan memang tidak dapat dilihat dari pecinya, sorbannya, janggutnya, “ubel-ubel” Pangeran Diponegoro-nya, atau identitas-identitas lainnya yang khas. Simbol terkadang tak selalu mencerminkan substansi.

***
Di pasar-pasar tradisional Indonesia, kupluk sangat mudah didapat, walaupun ukuran 10 sesuai dengan ukuran kepala saya cukup susah. Rata-rata ukuran 7 sampai 9. Tapi, saya perlu mencatat bahwa kupluk kita itu, kian bersaing dengan kopiah-kopiah haji.

Di “pasar-pasar tumpah” halaman-halaman masjid pasca-sholat jumat, yang jual kupluk kian langka, seolah tergantikan dengan kopiah-kopiah haji yang lebih murah dan praktis.

Coba bandingkan dengan, lagi-lagi, fez. Sewaktu saya jalan-jalan di Istanbul, di sebuah pasar tempo dulu, saya mencoba mencari fez, tetapi setelah berputar-putar ke sana kemari, saya tidak mendapatkannya.

Tapi setelah pemerintah Turki berhasil menggulirkan referendum 12 September 2010, yang mengakhiri peran politik militer di sana : apakah fez akan muncul lagi? Entahlah. Yang jelas Turki kini tengah bergeser secara signifikan peta politiknya.

Kemalisme seolah telah direvisi secara radikal pasca-kemenangan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di bawah pimpinan Recep Tayyip Erdogan dan pasca-referendum amandemen konstitusi. Mungkin fez masih dianggap kuno, walaupun konon dulunya ia diambil dari para bangsawan Yunani. Tetapi, saya kira kalau fez muncul lagi, bukan merupakan penghalang nyata bagi upaya Turki untuk terdaftar sebagai anggota penuh Uni Eropa.

Muslim Turki dan Indonesia mayoritas di negerinya masing-masing. Tetapi kultur dan pengalaman politiknya lain. Keduanya memang bukan negara Islam, dalam arti menjadikan Islam sebagai dasar negara. Hubungan antara agama dan negara di Turki dan Indonesia juga mengalami dinamika yang berbeda.

Sekularisasi di Turki melibatkan negara dan dengan pendekatan yang keras pasca-jatuhnya Kekhalifahan Turki Usmani. Di Indonesia tidak sekeras itu, bahkan belakangan terkesan sangat cair. Barangkali karena itu, perilaku keberagamaannya juga “lain”.

Di Turki orang yang sudah naik haji, tak biasa disebut Pak atau Bu haji. Di Indonesia sebutan “haji” terkesan terobral. Para pedagang di pasar tradisional dekat rumah saya, nyaris selalu memanggil Pak atau Bu haji kepada para calon pembelinya.

Salah seorang kenalan saya di Turki, yang sudah cukup berumur dan anaknya sudah pada mandiri, menunggu dengan khusyuk di luar Masjid Biru, Istanbul. Kami sedang sholat di sana, kecuali ia. Kalau ramadan, katanya ia tak ikut puasa, tapi kalau buka ikut merayakannya. Tetapi, ia tak mau dibilang bukan Muslim. Semua orang Turki, katanya, adalah Muslim –walaupun mungkin hanya sekedar Muslim KTP.

Saya menduga gaya beragama seperti itu, sangat kuat dipengaruhi oleh praktik sekulerisme radikal oleh negara. Walaupun, imam dan khatib diurus oleh negara, tetapi tak ada masjid atau mushola di perkantoran-perkantoran pemerintah dan bahkan swasta di sana –kalah sama simbol-simbol Kemalisme.

Kenalan saya tadi keinginannya sebelum meninggal cuma satu : ia sempatkan dirinya untuk naik haji. Ini yang membuat saya terperanjat kaget. Tapi saya segera menyadari bahwa tentu ia tak berharap kelak kehajiannya dimaksudkan untuk meningkatkan status sosial, seperti yang masih mengemuka di Indonesia. Ia hanya ingin berhaji untuk menunjukkan bahwa dirinya, diam-diam, di hari tuanya, adalah seorang Muslim yang paripurna. Wallahua’lam. (***)

*M. Alfan Alfian, Dosen di Universitas Nasional, sedang melakukan riset mengenai perkembangan politik di Turki

Membaca Pojok Kewiraswastaan Nitisemito

"Merdeka! Dengan ini kami menerangkan, bahwa kami di Temanggoeng telah mempoenyai pembelian tembakau sebanjak + 8 ton, oentoek keperloean kami poenya peroesahaan. Tembakau terseboet hingga ini waktoe misih beloem dapat membawa poelang, olih kerna kantor Tjoekai Temanggoeng melarang kloewarnja tembakau2 daerah sana, kaloe si pembeli tidak mempoenjai soerat idjin dari kantor Tjoekai tempat si pembeli. Maka dari itoe, kami mintak dengan hormat, mohon soerat idjin, oentoek membawa poelang tembakau terseboet. Sebeloem dan sesoedah kami membilang banjak trima kasih."

Begitu bunyi surat Nitisemito yang ditujukan kepada Kepala Kantor Bea Cukai Kudus pada 17 November 1947. Surat ketikan di kertas putih yang sudah menguning kecoklat-coklatan itu berada di lemari kaca di pojokan ruang Museum Kretek Kudus.

Surat tersebut bersanding dengan aneka macam peninggalan Nitisemito yang disimpan di Museum Kretek Kudus, seperti belangkon, foto-foto, jam gandul, nota, bungkus rokok, tempat rokok, dan sejumlah surat niaga. Di pojok ruang itu, pengelola museum mencantumkan tema ruang pamer bertuliskan, "Kehidupan Kewiraswastaan Nitisemito".

Nitisemito merupakan pengusaha rokok kretek Kudus yang lahir di Desa Jagalan, Kudus, pada 1874. Nitisemito yang mendapat julukan "radja kretek" tersebut memiliki perusahaan rokok kretek cap Bal Tiga dengan produk utamanya rokok kretek klobot (kulit) jagung.

Penulis buku Kretek, The Culture and Heritage of Indonesia's Clove Cigarettes (2000), Mark Hanusz, terkagum-kagum dengan semangat kewirausahaan Nitisemito yang bernama asli Rusdi. Dia menuliskan, Nitisemito memulai karier kewirausahaannya sebagai penjahit di Malang, Jawa Timur, pada umur 19 tahun.

Kemudian, dia kembali ke Kudus dan bekerja sebagai pedagang kerbau dan minyak kelapa, tetapi usaha itu gagal. Lantas dia menjadi kusir dokar sembari menjual tembakau. Suatu ketika, Nitisemito yang gemar merokok itu bertemu Nasilah, pembuat bungkus rokok dari klobot, yang kemudian dijadikan istrinya.

Perjumpaan itu menimbulkan gagasan untuk "menjahit" tembakau, cengkeh, dan klobot, menjadi rokok kretek klobot Bal Tiga. Promosi yang dilakukan Nitisemito luar biasa, seperti memberikan hadiah sepeda, kendaraan mewah kala itu, kepada pembeli rokoknya. "Dapet satoe sepeda!! Belilah rokok tjap Bal Tiga" demikian bunyi iklan yang dibuat Nitisemito seperti dikutip Mark Hanusz dalam bukunya. Selain itu, Nitisemito pernah menyewa pesawat Fokker untuk mempromosikan dagangan ke Bandung dan Jakarta.

Kepala Unit Pelaksana Teknis Museum Kretek Kudus Suyanto, Sabtu (2/10), di Kudus, mengatakan, semangat kewirausahaan dan keuletan Nitisemito itulah yang menarik perhatian pengelola museum sehingga mengambil tema "Kehidupan Kewiraswastaan Nitisemito". Dengan semangat kepribumian dan keterbatasan pendidikan, Nitisemito mampu menjadi pengusaha rokok tersukses pada zamannya sekaligus menjadi pemicu berdirinya perusahaan-perusahaan rokok di Kudus.

Kejayaan Nitisemito tidak untuk dirinya semata. Dia menyelamatkan banyak pribumi dengan mempekerjakan mereka sebagai karyawannya. "Kami berharap generasi muda Kudus dapat meneladani semangat kewiraswastaan Nitisemito," kata Suyanto.

Secara terpisah, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus, Sancaka Dwi Supani, mengatakan, salah satu peninggalan unik Nitisemito adalah jam gandul atau lonceng. Jam-jam tersebut diberikan Nitisemito kepada masjid-masjid hampir di setiap daerah di Indonesia.

"Bagi Nitisemito, jam atau waktu merupakan sesuatu yang sangat berharga. Setiap detik, setiap menit, atau setiap jam, merupakan saat untuk berkarya," kata dia. (HENDRIYO WIDI)

Pencalonan Kapolri


Mungkin hanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang bisa menjelaskan, mengapa pilihan akhir calon Kapolri jatuh kepada Komjen Timur Pradopo. Selebihnya, hanya bisa menduga dan menganalisis.

Keluarnya nama Timur cukup mengejutkan. Dalam sebulan terakhir, Komjen Imam Sudjarwo dan Komjen Nanan Soekarna—yang diajukan Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri—disebut sebagai kandidat kuat.

Sehari sebelum Presiden menyerahkan nama calon Kapolri ke DPR, nama Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Ito Sumardi malah dikabarkan akan menjadi pilihan akhir Presiden.

Menjelang Senin (4/10/2010) siang, spekulasi kembali berubah. "Angin" berhembus ke arah "Timur". Paling tidak, itu yang dituliskan Wakil Ketua DPR, Pramono Anung dalam akun Twitter-nya.

Dalam hitungan jam pula, Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal (Irjen) Timur Pradopo dimutasi dan mendapat kenaikan pangkat menjadi Komisaris Jenderal. Dia menjabat Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Mabes Polri. Pemutasian Timur memunculkan dugaan baru, dia akan menjadi "kuda hitam" yang akhirnya dipilih Presiden SBY.

Jawaban menjadi nyata saat Ketua DPR Marzuki Alie menyampaikan secara resmi bahwa Presiden mengajukan Timur sebagai calon tunggal Kapolri berdasarkan surat Presiden yang diterima sekitar pukul 19.15.

Lalu, mengapa Timur? Lagi-lagi, hanya Presiden yang bisa menjawabnya. Seorang sumber menyebutkan, semula pilihan sudah jatuh pada Nanan. Sosok Nanan, yang menjabat Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri dinilai layak menjadi Polri-1. Namun, kabar bahwa Nanan melakukan "safari politik" ke sejumlah partai menggoyahkan pilihan Presiden.

Mengapa bukan Imam? Ramainya pemberitaan mengenai hubungan kekerabatan Imam dengan keluarga Presiden ternyata cukup mengusik. Hingga akhirnya muncul nama Ito. Namun, menurut sumber pula, ada elite Polri yang tak happy dengan sosok Ito.

Wakil Ketua Komisi III Tjatur Sapto Edy memiliki analisis lain. Menurut dia, Timur merupakan pilihan tepat untuk meredam friksi antar-angkatan di internal Polri. Munculnya nama Nanan (angkatan 1978) dan Imam (angkatan 1980), kata Tjatur, menimbulkan konflik antar-angkatan.

Timur, meski berasal dari angkatan yang sama dengan Nanan, dianggap lebih moderat dan bisa diterima internal Polri. "Kalau Pak Ito, Pak Imam, Pak Nanan, ada resistensi di internal Polri. Pak Timur relatif bisa diterima secara legowo oleh Polri," kata Tjatur saat dihubungi wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Senin malam.

Sebaliknya, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso berpandangan, tak ada yang mengejutkan dari pilihan Presiden terhadap Timur Pradopo. Timur, dalam kalkulasi DPR, masuk dalam bursa kuat calon Kapolri. Dia bahkan memprediksi, langkah Timur dalam uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR akan berjalan mulus.

"Dengan track record (rekam jejak) yang jelas, saya melihat Pak Timur tidak akan menghadapi halangan, mulus. Figurnya kelihatannya akan mudah diterima oleh DPR. Saya justru khawatir kalau Presiden kirim nama yang tidak disangka," ujar Priyo.

Berubahnya haluan "angin" ke arah Timur di saat-saat akhir dibantah Priyo karena adanya tawar-menawar politik antara kekuatan-kekuatan yang ada di lingkaran koalisi.

"Soal Kapolri kan hak prerogatif Presiden. Jangan dikaitkan dengan tarik-menarik kepentingan," katanya.

Sejumlah anggota Komisi III masih mempertanyakan alasan pilihan Presiden. Nasir Djamil mengharapkan, Presiden bisa menjelaskan alasan atas pilihannya tersebut. Timur juga harus mampu menjawab keraguan publik atas kepemimpinannya selama menjabat Kapolda Metro Jaya.

Pekan lalu, Ibu Kota dikagetkan dengan kasus bentrokan massa yang menelan tiga korban meninggal di kawasan Ampera, Jakarta Selatan. Belum lagi konflik di Ciketing, hingga catatan masa lalu Timur yang kembali diungkit, saat tragedi 1998, dia menjabat sebagai Kapolres Jakarta Barat.

Seandainya Saya Bertemu Adam

Cucu Adam: Ini semua gara-gara sampean, Mbah.

Adam: Loh, kok tiba-tiba aku disalahin.

CA: Lah iya, gara-gara sampean dulu makan buah terlarang, aku sekarang merana. Kalau sampean dulu enggak tergoda Iblis kan kita tetap di surga. Enggak kayak sekarang, sudah tingggal di bumi, eh ditakdirkan hidup di negara terkorup, sudah gitu jadi orang miskin pula. Emang seenak apa sih rasanya buah itu?

A: Yo mbuh, sudah lupa. Kejadiannya sudah lama banget. Tapi ini bukan soal rasa. Ini soal khasiatnya.

CA: Halah, kayak obat kuat aja pake khasiat segala. Emang Iblis bilang khasiatnya apa sih kok sampean bisa tergoda?

A: Dia bilang, kalau makan buah itu aku bisa abadi.

CA: Anti-aging gitu?

A: Iya. Pokoknya kekal.

CA: Terus sampean percaya? Iblis kok dipercaya.

A: Lha wong dia senior.

CA: Maksudnya senior?

A: Iblis kan lebih dulu tinggal di surga dari aku dan mbah putrimu.

CA: Iblis tinggal di surga? Boong ah.
A: Nah ini nih kalo puasa ndak baca Quran. Baca Al-Baqarah ayat 30-38. Coba kowe pikir, gimana dia bisa mbisiki aku yang ada di surga kalo dia ndak tinggal di surga juga?

CA: Oh iya, ya. Tapi, walau pun Iblis yang mbisiki, tetep sampean yang salah, Mbah. Gara-gara sampean, aku jadi kere kayak gini.

A: Kowe salah lagi. Manusia itu ndak diciptakan untuk menjadi penduduk surga. Baca surat Al-Baqarah : 30. Sejak awal, sebelum aku lahir… eh, sebelum aku diciptakan, Tuhan sudah berfirman ke para malaikat kalo Dia mau menciptakan manusia yang menjadi khalifah (wakil Tuhan) di bumi.

CA: Lah, tapi kan sampean dan mbah putri tinggal di surga?

A: Iya, sempet, tapi itu cuma transit. Makan buah terlarang atau ndak, cepat atau lambat, mbahmu ini pasti diturunkan ke bumi untuk menjalankan tugas dari-Nya: memakmurkan bumi. Di surga itu masa persiapan, penggemblengan. Di sana Tuhan ngajarin mbah bahasa, ngasih tahu nama semua benda (Al-Baqarah:31).

CA: Jadi di surga itu cuma sekolah?

A: Kurang lebih kayak gitu. Waktu di surga, simbahmu ini belum jadi khalifah. Jadi khalifah itu baru setelah turun ke bumi.

CA: Aneh.

A: Kok aneh?

CA: Ya aneh, menyandang tugas wakil Tuhan kok setelah sampean gagal, setelah gak lulus ujian, termakan godaan Iblis? Pendosa kok jadi wakil Tuhan.

A: Lah, justru itu intinya. Kemuliaan manusia itu ndak diukur dari apakah dia bersih dari kesalahan atau ndak. Yang penting itu bukan melakukan kesalahan atau ndak melakukannya. Tapi, bagaimana bereaksi terhadap kesalahan yang kita lakukan. Manusia itu pasti pernah keliru, Tuhan tahu itu. Tapi, meski demikian, toh Dia memilih mbahmu ini, bukan malaikat.

CA: Jadi, gak papa kita bikin kesalahan, gitu?

A: Ya ndak gitu juga. Kita ndak isa minta orang ndak melakukan kesalahan. Kita cuma isa minta mereka untuk berusaha tidak melakukan kesalahan. Namanya usaha, kadang berhasil, kadang enggak.

CA: Sampean berhasil atau gak?

A: Dua-duanya.

CA: Kok dua-duanya?

A: Aku dan mbah putrimu melanggar aturan, itu artinya gagal. Tapi kami berdua kemudian menyesal dan minta ampun. Penyesalan dan mau mengakui kesalahan, serta menerima konsekuensinya (dilempar dari surga), adalah keberhasilan.

CA: Ya kalo cuma gitu semua orang bisa. Sesal kemudian tidak berguna, Mbah.

A: Berguna toh ya. Karena menyesal, aku dan mbah putrimu dapat pertobatan dari Tuhan dan dijadikan khalifah (Al-Baqarah:37). Bandingkan dengan Iblis, meski sama-sama diusir dari surga, tapi karena ndak tobat, dia terkutuk sampe hari kiamat.

CA: Sampean iki lucu, Mbah.

A: Lucu piye?

CA: Lah kalo dia tobat, ya namanya bukan Iblis lagi.

A: Bener juga kamu ya, he-he-he. Tapi intinya gitu lah. Melakukan kesalahan itu manusiawi. Yang ndak manusiawi, yang iblisi, itu kalo sudah salah tapi merasa bener, sombong.

CA: Jadi kesalahan terbesar Iblis itu apa? Ndak ngakuin Tuhan?

A: Iblis bukan ateis, dia justru monoteis. Percaya Tuhan yang satu.

CA: Mosok sih, Mbah?

A: Lha wong dia pernah ketemu Tuhan, pernah dialog segala kok.

CA: Terus, kesalahan terbesar dia apa?

A: Sombong: menyepelekan orang lain dan memonopoli kebenaran.

CA: Wah, persis cucu sampean tuh, Mbah.

A: Ente?

CA: Bukan. Cucu sampean yang lain. Mereka mengaku yang paling bener, kalo ada orang lain berbeda pendapat akan mereka serang. Orang lain disepelekan. Mereka mau orang lain menghormati mereka, tapi mereka ndak mau menghormati orang lain. Kalo sudah ngamuk nih Mbah, orang-orang ditonjokin, barang-barang orang lain dirusak. Setelah itu mereka bilang kalau mereka pejuang kebenaran. Bahkan ada yang sampe ngebom segala loh.

A: Wah, persis Iblis tuh.

CA: Tapi mereka siap mati Mbah, karena kalo mereka mati nanti masuk surga.

A: Siap mati, tapi ndak siap hidup.

CA: Bedanya, Mbah?

A: Orang yang ndak siap hidup itu ndak siap menjalankan agama.

CA: Loh, kok?

A: Lah, aku dikasih agama oleh Tuhan kan waktu diturunkan ke bumi (Al-Baqarah:37). Bukan waktu di surga.

CA: Jadi, artinya, agama itu untuk bekal hidup, bukan bekal mati?

A: Pinter kowe.

CA: Cucu siapa dulu.

A: Cucuku dan mbah putrimu.

CA: BTW, Mbah. Sampean itu kan terkenal dengan satu nama: Adam. Tapi mbah putri itu namanya kok beda-beda? Yang bener iku Hawa, Eve, atau Eva.

A: Sak karepmu. What’s in a name?

CA: Shakespeare, Mbah?

A: Mbuh, sak karepmu.

Pekalongan Gelar Pameran Pedang Nabi

HAMPIR sebulan, mulai 3 - 30 November 2010, Jamaah Pengajian Al Maliki Pekalongan bekerja sama dengan Pemkot Pekalongan akan menyelenggarakan pameran ''Pedang Nabi''.

Pameran tingkat internasional yang bakal menyedot pengunjung itu akan diselenggarakan di GOR Jetayu, Kota Pekalongan
Dalam pameran itu, menurut Ketua Panitia, Mohamad Alwi, akan dihadirkan beberapa peralatan perang Nabi Muhammad SAW yang dilestarikan di Museum Topkapi Turki. Peralatan perang Nabi yang disimpan di Museum Turki itu, diangkut ke Indonesia dengan pengamanan ketat.

Koleksi yang akan dipamerkan itu, antara lain peralatan perang Nabi Muhammad, yakni pedang, tongkat, dan terompah Nabi Muhammad. Kemudian jejak kaki nabi Muhammad dari Masjidil Aqso, surat-surat Nabi, pedang Nabi Daud, tongkat Nabi Musa, busur panah kaisar China, dan koleksi benda sejarah lainnya.
Pemutaran Film Pameran itu juga akan mengelar pemutaran film sejarah Pedang Nabi yang dibawa oleh pahlawan Islam Shalahuddin Al Ayubi. Sedangkan untuk pendukung pameran akan dilakukan bazar produk muslim dan kuliner, festival kesenian muslim, dialog budaya dan tablig akbar, dengan menghadiran ulama ternama, seperti KH Zainudin MZ dari Jakarta, Habib Luthfi bin Yahya (Ketua MUI Jateng), KH Mustofa Bisri (GusMus) Rembang, ulama kharismatik dari Pekalongan, KH Habib Abdullah Bagir, dan KH Idris Ahmad Marzuki (Kediri).

Sedangkan dialog budaya akan dihadiri Emha Ainun Najib, penyair Taufik Ismail dan lain-lain.

Alwi menambahkan, dipilihnya Kota Pekalongan sebagai lokasi pameran, karena kota di pantai utara Jawa ini menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi Islam dan selalu mengedepankan toleransi dari beragam etnis yang ada, seperti keturunan Tionghoa, Arab, dan Jawa. Mereka berkomunikasi erat dan hampir tak ada sekat dalam membangun bersama, serta mengeratkan tali silaturahmi sehingga mengakarlah kesatuan dan persatuan bangsa.

Pameran itu, kata Alwi, memang harus dilakukan untuk meluruskan makna perjuangan bagi masyarakat muslim. Untuk itulah maka jamaah pengajian yang dipimpin KH Muhamad Saifudin Amirin Kelurahan Jenggot, Kota Pekalongan mengelenggarakan pameran Pedang Nabi itu.

Alwi mengatakan, pameran Pedang Nabi itu merupakan sesuatu yang langka. Di eks Karesidenan Pekalongan, sampai sekarang belum pernah dilakukan.(Trias Purwadi-13)

Jalan Rusak, LSM Tirai Ancam Boikot Pajak

KAJEN - LSM Telaah Informasi Rakyat (Tirai) menuntut perbaikan jalan yang rusak karena sering dilalui truk pengangkut hasil tambang galian C. Jika tidak segera diperbaiki, LSM Tirai mengancam akan mengerahkan rakyat agar memboikot membayar pajak atau melakukan demonstrasi besar-besaran.

”Kondisi jalan di sepanjang jalur yang dilalui Galian C, terutama di Kecamatan Bojong sebagian besar telah mengalami penurunan permukaan,” tandasnya.

Dia juga menuding bahwa truk pengangkut tanah tersebut kelebihan tonase. ”Ditambah dengan perubahan cuaca yang ekstrim, membuat jalan yang rusak makin parah di beberapa ruas Jalan Raya Bojong,” tandasnya.

Buruknya kondisi jalan, menyebabkan sering terjadi kecelakaan. Para korbannya bukan hanya menderita luka-luka, tetapi ada juga yang meninggal dunia.

Dia minta agar jalan rusak secepatnya ditangani agar tidak makin parah. LSM Tirai juga menuntut agar instansi terkait segera memberikan teguran kepada penanggungjawab usaha Galian C dan memperbaiki jalan yang rusak itu. Jika tidak ditangani, dia mengancam akan mengerahkan warga agar memboikot membayar pajak atau melakukan unjuk rasa besar-besaran. ”Kami minta ini segera ditindaklanjuti,” tegasnya.
Sudah Menegur Kepala Dinas Pengairan, Pertambangan, Kebersihan, dan Pertamanan, Bambang Pramukanto menyatakan sudah memberikan teguran dan peringatan kepada penanggungjawab usaha Galian C tersebut.

”Kami sudah beri teguran untuk tindaklanjut dan sudah ada kajian untuk mengatasi masalah itu,” jelasnya.

Kabid Bina Marga PU Kabupaten Pekalongan Marbun mengaku sudah menerima keluhan itu dan sudah melaksanakan tindaklanjutnya.

”Memang ada kerusakan yang parah dan penanggungjawab kegiatan sudah siap memperbaiki jalan itu, bahkan sudah ada kegiatan,” jelasnya. (G16-63)

Memaafkan untuk Menghidupkan

YUDI LATIF

Kita mungkin sulit melupakan, tetapi harus bisa memaafkan!” Kalimat itu diucapkan Nelson Mandela saat membujuk Miriam Makeba untuk kembali ke Afrika Selatan dari tempat pengasingannya. Dengan pengendalian diri yang kuat atas kepedihan masa lalunya, Mandela berpetuah, ”Untuk berdamai dengan musuh, seseorang harus bisa bekerja sama dengan musuh dan musuh itu menjadi mitramu.”

Petitih sakti Mandela itu beresonansi di langit Jakarta, tepat pada Hari Kesaktian Pancasila, saat keturunan tokoh bangsa yang pernah terlibat konflik di masa lalu berkumpul di gedung tempat MPR bersidang. Di podium kehormatan secara bergantian tampil Chaterine Pandjaitan (putri pahlawan revolusi, Mayjen DI Pandjaitan), Ilham Aidit (putra pemimpin PKI, DN Aidit), Sarjono Kartosuwiryo (putra Imam Besar DI/TII Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo), Perry Omar Dani (putra mantan KSAU Marsekal Omar Dani), Sukmawati Soekarnoputri (putri Presiden Soekarno), Hutomo Mandala Putra (putra Presiden Soeharto), dan lainnya. Mereka melantunkan kesaksian (testimony), penyesalan (repentance), dan pengasihan (compassion), seperti yang sering dianjurkan teolog rekonsiliasi Afrika Selatan, Desmond Tutu.

Dengan kebesaran jiwa untuk memaafkan kepedihan masa lalu, mereka bersepakat untuk berhenti mewariskan konflik dan tak membuat konflik baru. Penyesalan dan harapan Chaterine Pandjaitan mewakili perasaan ini: ”Banjir air mata menggenangiku separuh waktu. Itu lebih dari cukup. Jangan lagi ada tangis. Anak-anak masa depan tak sepantasnya tumbuh dalam akar dendam masa lalu, yang membuat masa depan bangsa karam dalam bah air mata prahara.”

Sungguh mengharukan dan membanggakan. Di tengah arus besar mentalitas kerdil yang memaguti bangsa ini, masih tersisa jiwa besar yang bisa berdamai dengan memoria passionis. Ekspresi jiwa besar sebagai anak- anak ideologis dari tokoh bangsa yang mengedepankan kekuatan ”akal untuk berkuasa” (reason to rule), mereka lebih mengedepankan ”belas kasih untuk memaafkan” (mercy to forgive). Seakan menjadi pembumian dari nubuat penyair Inggris, John Dryden, ”Reason to rule but mercy to forgive: the first is law, the last prerogative”.

Inilah keseimbangan yang dibutuhkan demi mekarnya bunga kesejahteraan Indonesia. Pada diri tokoh bangsa di masa silam ada kekuatan yang bisa diwariskan, yakni berpolitik menurut penalaran (reason) yang diformulasikan dalam ideologi. Mereka berjuang merebut kekuasaan demi memperjuangkan gagasan yang mereka yakini keampuhannya untuk menggapai cita-cita nasional di seberang jembatan emas kemerdekaan. Namun, dalam suatu masyarakat majemuk dengan ragam keyakinan ideologis, mengandalkan kekuatan penalaran saja, yang sifatnya menguasai, memang menyimpan potensi ledakan.

Meskipun pendiri bangsa mengidealkan negara kekeluargaan, yang mengatasi paham golongan dan perseorangan, dalam praktiknya, perwujudan nation building masih terhadang oleh lemahnya budaya kewargaan (citizenship). Keanggotaan dalam suatu bangsa memerlukan apa yang disebut ”kebajikan sipilitas” (the virtue of civility), yakni rasa pertautan dan kemitraan di antara ragam perbedaan serta kesediaan untuk berbagi substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok, untuk kemudian melunakkan dan menyerahkannya secara toleran kepada tertib sipil.

Sayang, seperti dicatat oleh Edward Shils (1972), ”Yang lama berkembang di sini adalah suatu kecenderungan padat politisasi yang disertai oleh keyakinan, bahwa hanya mereka yang memiliki kesamaan prinsip dan posisilah yang dianggap sebagai anggota absah dari masyarakat politik. Sedangkan bagi mereka yang berbeda, dikucilkan oleh curam hambatan yang terjal”.

Untuk membangun kebangsaan Indonesia, kekuatan reason to rule itu harus diimbangi dengan kekuatan mercy to forgive. Di sinilah signifikansi dari kebesaran jiwa korban sejarah itu. Daya permaafan yang mereka tunjukkan adalah kunci bagi pencapaian bangsa ke depan. Seperti ditekankan Viktor Frankl, psikolog yang menjadi korban kekejaman Nazi, ”Penerimaan secara sadar atas penderitaan dan nasib dapat ditransformasikan ke dalam pencapaian agung”. Kenestapaan bisa mendorong pencarian makna hidup, man’s search for meaning.

Dalam kehidupan suatu bangsa, kepahitan sejarah harus meratakan jalan bagi pencarian kesejatian makna bernegara. Negara ini didirikan untuk mencapai kebahagiaan, yang kepenuhan maknanya bisa diisi dengan jalan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Dengan kata lain, hasrat rekonsiliasi dari kekuatan konfliktual di masa lalu itu hanya memperoleh kepenuhan makna jika mendorong transformasi dalam pengelolaan negara. Pada titik inilah sumber kepedihan lain justru membayangi kehidupan negara ke depan.

Jika kepahitan masa lalu ditimbulkan oleh reason to rule yang terlalu mengandalkan penalaran dalam perjuangan politik, sumber kepahitan masa depan justru karena mal- reason to rule; ditinggalkannya penalaran dalam kehidupan politik. Berpolitik bukan untuk memperjuangkan gagasan, melainkan semata-mata demi kekuasaan.

Dalam pudarnya ideologi, perjuangan politik lebih didorong oleh kepentingan. Jika perjuangan kepentingan ini berlangsung dalam suatu disorganisasi sosial (lumpuhnya hukum dan ketertiban) serta lemahnya perlindungan negara atas hak warga, yang akan berkembang adalah berjangkitnya kembali kekuatan-kekuatan ”tribus” (premanisme dan fundamentalisme). Kesengsaraan yang bisa ditimbulkan jauh lebih parah ketimbang konflik ideologis. Karena yang akan berkembang di jalanan adalah apa yang disebut Thomas Hobbes sebagai bellum omnium contra omnes (perang semua lawan semua). Saling serobot antarpengemudi di jalanan serta perang antarpreman dan antarwarga di Jakarta, Tarakan, dan tempat lainnya adalah indikasi awal gerak mundur perkembangan bangsa ke era prapolitik, yang bisa merobohkan bangunan negara-bangsa.

Perkembangan bangsa harus merupakan proses belajar sosial dari akumulasi sejarah nasional. Dari semangat rekonsiliasi pihak- pihak yang terlibat konflik di masa lampau, kita bisa belajar untuk berhenti mewariskan konflik dan tidak membuat konflik baru. Kunci menghidupkan negara adalah keseimbangan antara nalar bernegara dan rasa berbangsa. Dari kemampuan memaafkan itu, semoga terbit kesadaran untuk menghidupkan!

Yudi Latif Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan

SISI LAIN ISTANA


Belanda Siaga Perang

Suasana di Belanda sangat ribet ketika Presiden Soeharto akan berkunjung ke negeri itu hari Selasa, 1 September 1970. Senin petang, 31 Agustus 1970, Menteri Luar Negeri Adam Malik melaporkan kepada Soeharto di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta, bahwa kediaman resmi Duta Besar Indonesia untuk Belanda Taswin Natadiningrat di Wassenaar, Den Haag, diduduki pemuda yang mengaku sebagai kelompok pemuda Ambon. Taswin dan keluarga berhasil lolos dari kepungan.

Kejadian itu membuat Soeharto menunda keberangkatannya selama 24 jam. Baru hari Rabu malam, 2 September, Soeharto dan Nyonya Tien Soeharto beserta 36 anggota rombongan resmi terbang dengan pesawat DC Pulau Bali Garuda Indonesia Airways (GIA) meninggalkan Halim Perdanakusuma, Jakarta. Beberapa menit sebelumnya di Jalan Cendana, Soeharto menyerahkan surat keputusan kepada Wakil Presiden Sultan Hamengku Buwono IX untuk menjalankan tugas kepresidenan selama Soeharto di luar negeri.

Kamis tengah hari, 3 September, ketika masuk ke wilayah udara Belanda, pesawat kepresidenan Indonesia langsung disambut delapan pesawat tempur Starfighter Angkatan Udara Belanda yang mengantar rombongan mendarat di bandar udara militer Ijpenburg, beberapa kilometer dari Den Haag. Turun dari pesawat, Soeharto disambut dengan dentuman meriam 12 kali dan disambut oleh Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard, Perdana Menteri De Jong, dan anggota kabinet.

Setelah upacara resmi, rombongan Soeharto diangkut dengan empat helikopter ke Istana Huis Ten Bosch. Jadi tidak dengan iring-iringan mobil.

Waktu itu, Den Haag dinyatakan sebagai kota tertutup. Di mana-mana di kota itu tampak kendaraan lapis baja disiagakan dan 4.000 polisi dikerahkan. Segala bentuk demonstrasi dinyatakan terlarang. Kegiatan Soeharto dan rombongan sangat terbatas di dua tempat, yakni antara wilayah Binnenhof (tempat parlemen) dan Huis Ten Bosch sejauh 4 kilometer.

Sempat terjadi aksi unjuk rasa oleh sejumlah orang yang mengaku dari Republik Maluku Selatan dan berakibat 25 orang ditangkap polisi. Sementara itu, gedung Kedutaan Besar Indonesia dan Wisma Duta di Wassenaar dikelilingi pagar kawat berduri serta dijaga sejumlah panser dan prajurit berseragam militer. Hanya semalam Soeharto berada di Belanda dan kemudian terbang ke Jerman.

Harian terbesar Belanda saat itu, Daily Telegraph, menyatakan, kunjungan tersebut dicatat dalam sejarah karena selama itu baru kali ini Belanda melakukan operasi pengamanan sebesar itu.

Dua puluh lima tahun kemudian, tanggal 21 sampai 31 Agustus 1995, Ratu Beatrix didampingi Pangeran Claus dan Pangeran Van Oranje datang ke Indonesia dan sempat pesiar ke Keraton Yogyakarta, Borobudur, dan berenang di Laut Bunaken, Sulawesi Utara.

SBY bertolak ke Belanda

Selasa (5/10), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ny Ani Yudhoyono berangkat ke Belanda untuk memenuhi undangan Ratu Beatrix. Ini untuk kedua kalinya Presiden RI datang ke Belanda sejak Indonesia merdeka 17 Agustus 1945.(J Osdar)

Politisasi Polri Itu Berbahaya


Komjen Komjen Timur Pradopo

Jakarta, Kompas - Penentuan calon Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia menunjukkan terjadinya tarik-menarik kepentingan politik pada elite politik. Politisasi jabatan Kepala Polri ini perlu dihindari karena membahayakan soliditas institusi Polri yang tengah menangani kasus besar.

Demikian dikatakan pengamat kepolisian dari Universitas Indonesia (UI), Bambang Widodo Umar, advokat Harry Ponto, dan Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) DPR Tjahjo Kumolo secara terpisah di Jakarta, Senin (4/10). ”Polisi itu penegak hukum. Politisasi penetapan Kepala Polri akan memengaruhi penegakan hukum di negeri ini. Hal itu jelas berbahaya,” ujar Harry, yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Jakarta.

Senin malam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya mengajukan Komisaris Jenderal Timur Pradopo sebagai calon Kepala Polri, pengganti Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri. Surat pengajuan calon itu diterima Ketua DPR Marzuki Alie di ruangannya, Senayan, Jakarta, Senin sekitar pukul 19.20. Marzuki langsung membacakan surat dari Presiden.

Timur kini menjabat sebagai Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan (Kabaharkam) Polri. Jabatan itu baru diberikan Senin pagi. Sebelumnya, ia menjabat Kepala Polda Metro Jaya.

Marzuki menilai nama calon Kepala Polri baru itu dibacakan pada rapat paripurna, Selasa ini. Setelah itu surat Presiden akan diserahkan kepada Badan Musyawarah DPR sebagai dasar untuk menjadwalkan uji kelayakan dan kepatutan yang akan dilakukan Komisi III DPR.

Tarik-menarik

Harry dan Bambang Widodo menilai berbagai isu terkait pencalonan Kepala Polri beredar selama Senin, yang menunjukkan adanya tarik-menarik kepentingan politik. Hingga Sabtu lalu, dua nama calon Kepala Polri yang mencuat dan diusulkan Polri, adalah Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Nanan Soekarna dan Kepala Badan Pendidikan Polri Komisaris Jenderal Imam Sudjarwo. Namun, Minggu malam beredar nama Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi sebagai calon yang diajukan Presiden ke DPR.

Senin, menjelang diajukannya nama calon Kepala Polri ke DPR, Presiden berkomunikasi intensif dengan Bambang Hendarso. Sebelum sidang kabinet, Presiden menemui Kepala Polri. Bambang pun segera meninggalkan Kantor Presiden, sesaat sebelum sidang dimulai.

Senin petang, Bambang kembali menghadap Presiden. Ia meninggalkan kompleks Istana Kepresidenan sekitar pukul 18.30.

Senin pagi, seusai meninggalkan Istana, ternyata Bambang melantik Timur Pradopo sebagai Kabaharkam Polri dan menaikkan pangkatnya dari inspektur jenderal menjadi komisaris jenderal. Namun, Bambang membantah pelantikan dan kenaikan pangkat Timur itu atas permintaan Presiden.

Sebelumnya, saat menghadiri pelantikan anggota Komisi Pemilihan Umum di Istana Negara, Bambang mengingatkan, mekanisme pencalonan Kepala Polri sudah dijalankan sesuai sistem. ”Dua nama yang diajukan. Kalau ada yang muncul, ya, silakan saja. Sistem tetap kami ajukan dua. Kami menunggu arahan Presiden,” paparnya.

Nanan, Senin malam, menghormati putusan Presiden yang mengusulkan Timur Pradopo sebagai calon Kepala Polri. ”Itu terbaik bagi Polri,” katanya.

Harus dijelaskan

Bambang Widodo menyebutkan, pengajuan Timur Pradopo sebagai calon Kepala Polri sangat aneh. Pencalonan di luar dua calon yang diajukan Kepala Polri ditengarai justru membawa kepentingan politik Presiden.

Menurut Bambang Widodo, dua nama calon yang diajukan Kepala Polri itu sudah mengikuti prosedur di Dewan Jabatan. Pemilihannya didasarkan dedikasi dan profesionalitas serta tidak ada unsur pertimbangan politis.

”Presiden selalu menegaskan, jangan ada politisasi dalam pencalonan Kepala Polri. Dengan mengajukan nama lain di luar calon dari Kepala Polri, berarti itu kebijakan politis,” katanya.

Harry menilai Presiden justru menunjukkan kepentingan politiknya dengan mengajukan Timur. Nama yang diusulkan Kepala Polri selama ini disebutkan adalah Nanan dan Imam.

Guru Besar Hukum Administrasi Negara dari Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, T Gayus Lumbuun, sependapat, sudah ada mekanisme pencalonan Kepala Polri sesuai UU Polri. Ia khawatir pencalonan Timur menimbulkan masalah administrasi negara, seperti yang pernah dipersoalkan terkait Jaksa Agung Hendarman Supandji.

”Presiden harus menjelaskan. Ini sesuai Pasal 11 UU Polri,” kata Gayus, yang juga anggota Komisi III DPR dari F-PDIP itu.

Tjahjo Kumolo menyesalkan kuatnya tarikan politis dalam penetapan calon Kepala Polri. Peristiwa ini harus menjadi pelajaran berharga bagi lembaga kepolisian dan pemerintah.

”Pekerjaan rumah pertama Kepala Polri mendatang adalah menjaga soliditas internal lembaga itu. Semoga Polri adalah lembaga yang sudah dewasa sehingga mereka dapat dengan cepat kembali solid setelah proses pemilihan Kepala Polri selesai,” harap Tjahjo.

Harapan ini muncul karena Tjahjo meyakini, proses pemilihan Kepala Polri menimbulkan suasana tidak enak akibat persaingan yang cenderung tidak sehat di dalamnya. ”Nama yang belakangan disebut, tetapi ternyata tidak dikirimkan, pasti kecewa dan malu,” tuturnya.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Lukman Hakim Saifuddin juga berharap keputusan Presiden memilih Timur tidak memunculkan perasaan dilecehkan atau ketegangan dengan Bambang Hendarso, karena Kepala Polri tak merekomendasikan nama Timur kepada Presiden.

Namun, Sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPR, Saan Mustopa, menyangkal, ada politisasi dalam penentuan calon Kepala Polri. ”Timur Pradopo masuk dalam delapan nama yang diseleksi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sehingga sebenarnya dia masuk dalam pertimbangan Presiden sejak lama. Pemilihan Timur berdasarkan kebutuhan internal kepolisian dan masyarakat,” papar Saan.

Saan menegaskan, Partai Demokrat mendukung sepenuhnya Timur menjadi Kepala Polri. Sikap serupa dibangun dari partai lain anggota Sekretariat Gabungan Pendukung Pemerintahan Yudhoyono, yaitu Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, PPP, dan Partai Kebangkitan Bangsa.

Namun, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, mengatakan, tidak ada jaminan Timur akan didukung di DPR, apalagi ada masukan rekam jejak Timur.

Anggota Komisi III DPR dari F-PDIP Trimedya Panjaitan juga mengungkapkan, kenaikan pangkat Timur Pradopo yang mendadak menunjukkan adanya gejolak politik dalam penentuan calon Kepala Polri. Ada manuver politik dalam pencalonan itu. (FER/NTA/ATO/DAY/HAR/ NWO/TRI/WHY/BDM/TRA)