Rabu, 23 Mei 2012

Fondasi Antikorupsi Terbangun


Transisi Demokrasi Terlalu Lama

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Spanduk berisi kritik masyarakat terhadap demokrasi di Indonesia ditempel di depan Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Senin (21/5). Area publik sering kali digunakan masyarakat untuk menyampaikan suara hati secara bebas.
Jakarta, Kompas - Reformasi sejak 14 tahun lalu dinilai memberikan fondasi sistem antikorupsi yang lebih baik. Kenaikan indeks persepsi korupsi jadi bukti perbaikan itu. Namun, pemerintah mengakui, tantangan terberat justru dari orang-orang di dalam sistem yang ingin menghancurkan sistem itu.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana, Selasa (22/5), di Jakarta, mengatakan, ada lima aspek pendukung antikorupsi yang membaik. Pertama, sistem bernegara yang lebih demokratis. Ini membuat kecenderungan praktik antikorupsi lebih besar ketimbang dalam sistem kenegaraan yang otoritarian seperti Orde Baru.
Kedua, regulasi antikorupsi membaik. ”Kita sekarang memiliki Undang-Undang Tipikor, Undang-Undang KPK, Undang-Undang Pencucian Uang, hingga peraturan presiden yang melarang TNI berbisnis,” tuturnya.
Ketiga, institusi korupsi juga membaik. Ini dibuktikan dengan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta Mahkamah Konstitusi (MK) yang giat menjaga undang-undang antikorupsi.
Keempat, kebebasan pers. ”Ini diperlukan untuk menjadi kontrol bagi sistem politik. Kasus korupsi bisa diberitakan secara bebas,” ujar Denny.
Kelima, partisipasi publik yang meningkat. Ini ditandai dengan banyaknya lembaga swadaya masyarakat antikorupsi, seperti Indonesia Corruption Watch (ICW).
Hasilnya, menurut Denny, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia membaik, dari 2,0 (2004) menjadi 3,0 (2011). Kenaikan satu poin itu merupakan kenaikan tertinggi di antara 10 negara Asia Tenggara dalam periode yang sama. Adapun di tingkat Asia, kenaikan satu poin merupakan kenaikan tertinggi kelima, lebih baik ketimbang China.
Secara kualitatif, reformasi juga membuat pemberantasan korupsi membaik. Kepala daerah, besan Presiden, mantan menteri divonis dalam kasus korupsi.
Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto mengatakan, sekarang setiap tahun ada instruksi presiden untuk rencana aksi pencegahan korupsi di berbagai instansi. ”Ini pertama kali ada dokumen yang merangkum berbagai lembaga seperti Polri dan Kejaksaan Agung,” ucapnya. Namun, menurut dia, tantangan utama berasal dari orang-orang di dalam sistem yang merasa dirugikan dengan membaiknya pencegahan korupsi.
Sekretaris Kabinet Dipo Alam menyatakan, anggapan penegakan hukum berjalan di tempat tidak benar. ”Itu berlebihan. Kita semuanya ingin cepat, tetapi pemerintah tidak bisa mendikte lembaga peradilan,” ujarnya.
Terkait percepatan reformasi, menurut Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso di Senayan, Jakarta, tidaklah tepat jika harus memotong satu generasi. Regenerasi kepemimpinan nasional seharusnya berjalan secara alamiah.
Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah memberikan kesempatan sekali lagi kepada para tokoh tua (senior) untuk menjadi pemimpin nasional. ”Biarlah kita beri kesempatan sekali ini kepada senior untuk menuntaskan masa baktinya,” kata Priyo yang juga Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar.
Menurut dia, gagasan potong satu generasi muncul hanya karena kegemasan kalangan muda terhadap para tokoh tua yang dianggap gagal mengubah kondisi bangsa. Meski demikian, Priyo sependapat bahwa salah satu kunci reformasi adalah regenerasi kepemimpinan. Namun, regenerasi tidak bisa dipaksakan.
Bagi mantan Wakil Presiden, M Jusuf Kalla, regenerasi kepemimpinan terjadi setiap saat. Namun, tidak seharusnya regenerasi dilakukan dengan membatasi tokoh-tokoh senior yang akan muncul dalam bursa calon presiden. Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat Wiranto juga sependapat, regenerasi tidak bisa dipaksakan. ”Biarkan berjalan alamiah,” ujarnya.
Terancam gagal
Namun, transisi demokrasi yang dialami Indonesia pasca-Soeharto dinilai terlalu lama dan tidak ada tanda-tanda segera berakhir. Situasi itu akan membuat Indonesia terancam gagal dalam berdemokrasi.
Peneliti The Indonesian Institute Hanta Yuda mengatakan, transisi demokrasi adalah periode yang dialami suatu bangsa ketika beralih dari sistem otoritarian menuju demokrasi yang terkonsolidasi. Transisi demokrasi di suatu negara biasanya selesai setelah mereka melewati dua pemilu demokratis. ”Tapi, kita sudah melewati tiga pemilu yang demokratis, bahkan sebentar lagi empat pemilu, tetapi transisi demokrasi belum selesai juga,” tutur Hanta.
Anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Ganjar Pranowo, juga melihat bahwa transisi demokrasi di Indonesia terlalu lama. ”Kita terancam menjadi negara yang mengalami transisi demokrasi permanen,” katanya.
Hanta menjelaskan, penyebab utama transisi demokrasi di Indonesia tak kunjung selesai adalah kondisi partai politik yang buruk.
”Partai politik bobrok. Rekruitmen masih oligarkis, transaksional. Ada upaya mencari uang lewat posisi yang ditempati orang partai di pemerintahan. Padahal, partai menempati posisi strategis. Mereka menentukan penempatan orang di sejumlah lembaga negara. Maka, perbaikan seharusnya di hulu, perbaikan pada parpol,” kata Hanta.
Reformasi kebudayaan
Karut-marut reformasi ini, menurut Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari, hanya bisa diselesaikan jika bangsa Indonesia sungguh-sungguh mau melakukan reformasi kebudayaan. Kemerosotan karakter sebagai bangsa yang ditunjukkan justru setelah masa reformasi menandakan ada kesalahan serius dari budaya bangsa ini.
Merajalelanya korupsi, parpol yang tercerabut dari rakyat, hingga pemerintahan yang mengingkari kebinekaan bangsa dan tunduk pada kepentingan kelompok hanya contoh kecil bangsa ini mengalami krisis karakter. ”Reformasi politik dan hukum sudah dilakukan, tetapi keadaan tetap karut-marut. Saya melihat rasanya harus dilakukan reformasi budaya, yaitu reformasi manusianya,” kata Hajriyanto.
Reformasi yang sudah salah arah ini, kata politikus PDI-P Budiman Sudjatmiko, hanya bisa dibenahi dengan mengubah gaya kepemimpinan nasional. ”Dari gaya yang ingin menyenangkan semua pihak dengan gaya kepemimpinan yang dituntun visi pemberdayaan rakyat dari aspek kesejahteraan dan pendidikan mereka,” katanya.
Bagi Direktur Riset Charta Politika Yunarto Wijaya, saat ini diperlukan dekonstruksi pemaknaan sistem bernegara secara utuh untuk kebutuhan jangka panjang. (NTA/BIL/ATO)