Rabu, 06 Oktober 2010

Akibat Menoleransi Premanisme

Bentrokan yang meletup di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemarin merupakan akumulasi dari pelanggaran hukum yang dibiarkan. Kepolisian tidak menindak tegas aksi premanisme yang berkembang dalam masyarakat. Akibatnya, muncul sejumlah kelompok massa yang merasa kebal hukum dan bisa melakukan apa saja, termasuk membunuh.

Kita prihatin karena perilaku yang nekat seperti itu terjadi di ibu kota sebuah republik yang menjadikan hukum sebagai landasan kehidupan masyarakat dan negara. Pada siang bolong, dua kelompok massa dari dua suku berbeda berhadap-hadapan di jalan raya, persis di depan pengadilan. Mereka membawa berbagai senjata tajam, bahkan senjata api, lalu beraksi ala gangster dalam film-film Hollywood.

Dalam sekejap, korban pun berjatuhan dalam “perang” itu. Tiga orang tewas dan puluhan lainnya terluka. Sejumlah polisi yang berjaga-jaga di sekitar pengadilan seolah tak berdaya. Beberapa di antara mereka justru ditembaki--kendati tak sampai tewas--oleh salah satu dari kelompok yang bertikai. Masalahnya, mengingat aksi brutal seperti ini tentu tak muncul secara tiba-tiba, kenapa kepolisian tidak mengantisipasinya dengan pengamanan yang lebih ketat.

Kejadian itu jelas merupakan bagian dari rangkaian perkelahian sebelumnya yang terjadi di klub Blowfish, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, April lalu, yang menyebabkan tewasnya satu orang dari salah satu kelompok. Dua orang kemudian menjadi terdakwa kasus ini dan sedang menjalani sidang di pengadilan. Dalam sidang, friksi itu terus berlanjut dan terdakwa sempat dipukuli oleh kelompok orang yang berseberangan. Gesekan inilah yang kemudian memicu pertempuran di antara dua kelompok massa kemarin.

Memang benar kasus perkelahian di klub Blowfish diproses secara hukum. Tapi benarkah kepolisian telah bertindak adil dalam menangani perkara ini? Mengapa terdakwa dibiarkan dipukuli ketika menjalani sidang? “Perang” tak akan meletup andaikata kepolisian mengawal dan menangani kasus ini dengan hati-hati sekaligus adil.

Sebagian publik juga bertanya-tanya, kenapa penegak hukum seolah membiarkan munculnya kelompok yang merasa berkuasa dan bisa berbuat apa saja. Mereka bahkan memiliki pistol yang hanya bisa didapatkan lewat izin khusus dari kepolisian, kecuali jika diperoleh secara ilegal. Sudah menjadi rahasia umum, aksi premanisme sering dibiarkan, bahkan dipelihara oleh aparat untuk aneka kepentingan. Akibatnya, sejumlah kelompok massa merasa kebal hukum karena “dilindungi” oleh aparat.

Tiada cara lain, untuk mencegah terulangnya aksi brutal seperti yang terjadi di depan Pengadilan Jakarta Selatan, kepolisian mesti bertindak tegas. Semua pelaku yang terlibat dalam aksi ini mesti diproses hukum secara transparan sekaligus adil agar tidak memicu “perang” baru.

Kepolisian harus berani pula membasmi bibit-bibit premanisme sekecil apa pun. Memberi toleransi terhadap kegiatan mereka, apalagi mengayominya, sungguh berbahaya karena sama saja dengan menciptakan monster bagi masyarakat.