Jumat, 08 Oktober 2010

ANOMALI


Tahanan Pun Menang Pilkada

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, selalu saja penuh dengan orang-orang dari Boven Digoel, Papua, saat Bupati mereka, Yusak Yaluwo, disidang. Walaupun didakwa melakukan korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Boven Digoel tahun 2005 hingga 2007 senilai Rp 49 miliar, tetapi Yusak mengklaim dia tetap ”didukung”.

Petahana ini memenangi pemilu kepala daerah (pilkada) Boven Digoel walaupun saat itu sudah berstatus tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kemenangan Yusak Yaluwo dalam pemilihan bupati Boven Digoel pada Agustus 2010 sempat mengherankan Wakil Ketua KPK Haryono Umar. Yusak adalah petahana yang menjadi tersangka dalam perkara dugaan korupsi APBD Boven Digoel. Pada 15 April 2010 KPK menjemput paksa dia dan menahannya hingga kini.

”Kemungkinan besar masyarakat tidak mendapat informasi lengkap. Kalau sudah jadi tersangka, akan jadi terdakwa. Kalau sudah terdakwa, menurut undang-undang, biasanya dicopot. Ini juga justru nanti akan menjadi kendala (pemerintahan) di Boven Digoel,” tutur Haryono di Jakarta.

Mantan Wakil Bupati Banjarnegara, Jawa Tengah, Hadi Supeno mengaku tak heran dengan kemenangan Yusak ataupun petahana lain tersangka korupsi. ”Pilkada semuanya hanya masalah uang. Yang mau bayar, pasti menang,” kata dia.

Selain Yusak, Wali Kota Tomohon, Sulawesi Utara, Jefferson Rumajar, yang tengah jadi tersangka KPK dalam perkara dugaan penyalahgunaan APBD hingga Rp 19,8 miliar, juga memenangi pilkada pada 3 Agustus lalu.

Berdasarkan penelitian Indonesia Corruption Wacth, lima petahana tersangka korupsi oleh Kejaksaan telah memenangi pilkada periode 2010- 2015, yaitu Bupati Rembang (Jateng) Moch Salim, Bupati Kepulauan Aru (Maluku) Theddy Tengko, Bupati Lampung Timur (Lampung) Satono, Wakil Bupati Bangka Selatan (Bangka Belitung) Jamro H Jalil, dan Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamudin.

”Korupsi menjadi suatu yang salah kaprah, salah tetapi dianggap umum. Bagi pejabat di daerah, korupsi dianggap masalah kesempatan. Mereka antre kapan memperoleh kesempatan. Sedangkan di masyarakat ada internalisasi nilai, korupsi menjadi wajar. Tidak dianggap aib lagi,” kata Hadi.

Karena itu, dia merasa tak mengherankan lagi, petahana tersangka korupsi, bahkan yang sudah disidang, masih memenangi pilkada.

Selain aturan tak jelas, menurut Hadi, etika politik di daerah sama sekali diabaikan. ”Ada juga tren orang sudah jadi kepala daerah dua kali masa jabatan, daftar menjadi wakil kepala daerah. Ada lagi, bupati yang pindah ke kabupaten tetangga daftar jadi wakil bupati,” kata dia.

Menurut Hadi, banyak yang berharap menjadi pejabat bukan karena visi atau ingin mengubah daerah jadi lebih baik, tetapi benar-benar memimpikan fasilitas jabatan.

Keuangan daerah memang jadi kue rebutan aktor korup, termasuk pejabat dan calo dari pusat. Kebanyakan proyek di daerah dirancang jauh hari oleh pengusaha rekanan dengan penguasa sebelum ada pembahasan anggaran. Tender hanya main-main.

Hadi mengakui, beberapa daerah kini menyewa mantan karyawan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengawal APBD. ”Namun, tujuannya lebih mengakali anggaran. Bukan mengatur agar lebih baik, tetapi bagaimana mencurinya,” kata dia.

Menurut Hadi, walaupun yang menjadi aktor utama korupsi di daerah adalah pejabat dan pengusaha setempat, pejabat di tingkat pusat juga terlibat. ”Hampir semua dana yang diturunkan ke daerah pasti ada konsesi. Zaman saya menjabat, biasanya sampai 8 persen. Untuk pejabat di pusat 5 persen dan 3 persen kembali ke kepala daerah melalui calo di pusat,” ujar dia.

Yang paling banyak disunat adalah dana alokasi khusus. ”Dana itu tak mungkin turun tanpa negosiasi, harus ada proposal dulu. Proposal menumpuk di meja pengambil keputusan. Butuh negosiasi. Negosiasi itu tidak gratis,” tuturnya.

Praktik itu, menurut Hadi, masih berlangsung hingga kini dan hampir semuanya tutup mata. ”Baru-baru ini saya masih menemui wali kota dan bupati yang keluyuran di DPR. Mau apa kalau bukan negosiasi anggaran atau ketemu calo-calo?” kata dia.

Tak langsung

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi melihat perlu ada usaha memperbaiki situasi. Salah satunya dengan mengurangi jumlah pilkada langsung. Untuk itu, ia mengusulkan gubernur tak lagi dipilih langsung mengingat ia wakil pemerintah pusat di daerah. Kompensasinya, gubernur diberi kewenangan besar oleh pemerintah pusat.

”Ada orang yang mengatakan, di mata bupati, gubernur nanti menjadi tidak berwibawa karena tidak dipilih langsung. Menteri juga tak dipilih langsung dan apakah menjadi tidak berwibawa? Kewibawaan tidak terletak pada dipilih langsung atau tidak dipilih langsung, tetapi terletak pada kewenangan yang dimilikinya,” ujar Gamawan.

Gagasan lain, membatasi pengeluaran calon. Caranya, area pemasangan atribut kampanye dibatasi. Pengerahan massa juga dilarang sebab mendatangkan ribuan orang perlu biaya besar.

Ide lain, mengatur bukan calon yang mencari uang, melainkan partai pendukung yang bertugas mengumpulkan uang. Hal ini dilakukan di sejumlah negara lain. Partai berkeliling mencari dana dengan ”menjual” calon yang didukung. (AIK/ato)