Jumat, 08 Oktober 2010

OTONOMI DAERAH Desentralisasi Korupsi?

Oleh SUWARDIMAN

Korupsi menjadi ironi semangat desentralisasi yang berkembang. Alih-alih mendekatkan rakyat kepada kesejahteraan lewat pemerataan pembangunan, otonomi daerah justru menjadi lahan subur ”pemerataan” korupsi. SUWARDIMAN

Pilkada tampaknya kini kerap dimaknai dengan logika dagang. Betapa tidak, potret politik yang cenderung bersifat transaksional ini sudah terjadi sejak awal proses penyelenggaraan demokrasi lokal. Semenjak tahapan awal pilkada, calon kepala daerah dituntut memiliki modal yang kuat karena mahalnya biaya politik. Keadaan itu ditambah pula dengan perilaku pemilih yang terdorong semakin pragmatis sehingga muaranya proses pemilihan kepala daerah yang transaksional dan koruptif.

Siklus balas jasa tersebut menyebabkan maraknya kepala daerah produk pilkada langsung terseret kasus korupsi. Dari 54 kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah atau mantan kepala daerah sepanjang 2005-2010, separuh lebih terkait penyelewengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan sepertiga lebih terkait tender proyek. Sisanya korupsi terkait penyalahgunaan alokasi dana lainnya, seperti dana bantuan sosial atau kas daerah (lihat peta).

Pengakuan sejumlah mantan kepala daerah/wakil kepala daerah memperkuat fakta munculnya praktik balas jasa kepada mayoritas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Proses pencalonan kepala daerah diakui membutuhkan biaya sangat tinggi, bahkan mencapai puluhan miliar rupiah. Hadi Supeno, mantan Wakil Bupati Banjarnegara, membeberkan pola korupsi di daerah dalam buku yang ditulisnya, Korupsi di Daerah: Kesaksian, Pengalaman, dan Pengakuan, 2009.

Mantan Wali Kota Tarakan Yusuf SK memiliki pengalaman tak jauh berbeda. Pada saat pilkada mendekat, sejumlah kelompok bisnis mendatangi calon untuk menawarkan dana dukungan menjelang pilkada. Calon kepala daerah yang menang nantinya akan dimintai kompensasi berupa alokasi proyek atau izin penyediaan lahan.

Di satu sisi, modal yang dikeluarkan kandidat saat pilkada sangat besar, tidak sebanding dengan pendapatan total selama menjabat, sekitar Rp 50 juta per bulan. Sebaliknya, pengeluaran kepala daerah—meliputi berbagai bantuan untuk kelompok dan individu dan menjadi ”kewajiban” seorang kepala daerah—jauh lebih besar jumlahnya. Ujung- ujungnya, pengeluaran ini dianggarkan dalam APBD alias melakukan korupsi.

Keuangan daerah memang menjadi sektor paling rawan korupsi dengan APBD sebagai obyek korupsinya. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan, terjadi 38 kasus korupsi di keuangan daerah pada semester pertama 2010, meningkat dari 23 kasus periode yang sama tahun 2009. Beberapa kasus APBD dengan potensi kerugian negara sangat besar selama tahun 2010 di antaranya adalah pembobolan kas daerah Aceh Utara sebesar Rp 220 miliar, APBD Indragiri Hulu sebesar Rp 116 miliar, kas daerah di Pasuruan, Jawa Timur, sebesar Rp 74 miliar, dan dana otonomi daerah di Boven Digoel sebesar Rp 49 miliar.

Secara keseluruhan, ICW mencatat dua kali lipat lebih penindakan kasus korupsi selama semester pertama 2010 dengan 176 kasus korupsi mengakibatkan kerugian negara Rp 2,1 triliun.

Perilaku pemilih

Praktik desentralisasi politik, secara teoretis, adalah jalan untuk mendistribusikan kekuasaan sentralistik menjadi lebih merata ke tingkat lokal. Pemilihan kepala daerah langsung pun ditujukan untuk menciptakan pemerintahan daerah yang akuntabel. Penguasa lokal diharapkan mampu lebih responsif terhadap kepentingan rakyat yang langsung memilihnya.

Sistem pemilihan langsung hanya akan bermakna bila diselenggarakan dalam perspektif demokrasi substansial, yaitu ditunjang perilaku demokratis, baik dari elite lokal maupun masyarakat pemilih. Perilaku dimaksud adalah pemilih memiliki pendidikan politik yang cukup dan menetapkan pilihan politik berdasarkan kesadaran rasional terhadap calon-calon yang bertarung di pilkada.

Masalahnya, perilaku politik, baik dari kandidat maupun pemilih, saat ini sama-sama cenderung terdorong ke arah yang tak diperhitungkan sebelumnya. Mengutip Syarif Hidayat (Deepening Democracy in Indonesia, 2009), arti kata modal saja bagi kandidat kepala darah saat ini tidak hanya berupa modal politik, tetapi juga modal finansial. Modal politik bersumber pada partai politik, tokoh informal, ataupun kemampuan berpolitik, sementara modal finansial adalah kekayaan pribadi kandidat atau pihak lain yang satu kelompok kepentingan.

Kecenderungan perilaku pemilih saat ini yang semakin ”pragmatis” dan ”transaksional” sedikit banyak terindikasi dari kecilnya rentang waktu dalam menentukan pilihan politik. Beberapa hasil penelitian memperlihatkan, saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta, misalnya, separuh responden baru menetapkan keputusan pada hari-H pencoblosan, sementara 31,4 persen responden seminggu sebelumnya. Hasil survei Kompas selama pilkada di Jawa Barat dan Jawa Timur juga menunjukkan sekitar 20 persen pemilih baru memutuskan pilihan mereka pada hari pelaksanaan pemilu.

Meski tak seluruh indikasi tersebut dimotivasi keinginan responden menunggu ”serangan fajar”, tetapi tak pelak pola demikian membuka lebar peluang tim sukses pasangan calon melakukan praktik politik uang. Faktanya, merujuk pada berbagai gugatan pilkada di Mahkamah Konstitusi, nyaris semua dalil penggugat yang jumlahnya ratusan kasus itu diwarnai laporan perihal terjadinya praktik politik uang.

Petahana bermasalah

Bertemunya dua kebutuhan, yakni modal politik dan modal kapital, pada awal proses pembentukan pemerintahan daerah melahirkan berbagai bentuk transaksi pasca-terbentuknya pemerintahan. Transaksi politik dan transaksi bisnis berkelindan sebagai buah investasi berbagai pihak yang menjadi sponsor hingga terpilihnya seorang kandidat menjadi kepala daerah. Model transaksional ini menurut Syarif Hidayat pada akhirnya melahirkan praktik ”pemerintah bayangan”, yakni kekuatan informal yang berdiri di balik panggung kekuasaan dan menyetir kerja pemerintahan sebenarnya.

Dengan situasi itu, tak heran bila pasca-pemilihan gubernur atau bupati kebijakan yang ditelurkan dirasa janggal oleh publik atau berpihak secara tidak wajar kepada kelompok tertentu. Dengan pola imbal balik demikian, tak heran pula jika seorang calon kepala daerah bermasalah bisa terpilih kembali.

Pilkada Kabupaten Boven Digoel, Papua, dan Kepulauan Aru menjadi contoh. Petahana Boven Digoel, Yusak Yaluwom, menang dengan 43,7 persen suara, padahal dia tersangka korupsi APBD Boven Digoel tahun 2005-2007 senilai Rp 49 miliar. Adapun petahana Kepulauan Aru, Teddy Tangko, menang dengan 42,7 persen suara, terjerat kasus korupsi APBD 2005-2007 sebesar Rp 30 miliar. Tak hanya Yusak dan Tangko, setidaknya tercatat lima petahana lain yang dalam status tersangka korupsi, tetapi terpilih kembali sebagai kepala daerah. (LITBANG KOMPAS)