Jumat, 08 Oktober 2010

KORUPSI DI PILKADA


Sekarung Beras di Mahkamah Konstitusi

Ini bukan cerita tentang pembagian jatah beras untuk pegawai negeri sipil di instansi pemerintah. Cerita sekarung beras ini ada dalam persidangan Mahkamah Konstitusi atau MK. Pada 30 September lalu sekarung beras dihadirkan pihak yang berperkara, khusus dibawa dari Papua Barat. Beras itu adalah barang bukti.

Kuasa hukum pemohon sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, meminta majelis hakim membuka karung beras itu. Mereka mendengar di dalamnya juga ada amplop berisi uang.

Permintaan itu mengundang sanggahan dari kuasa hukum pemenang pilkada Kabupaten Teluk Wondama, yang menjadi pihak terkait dalam perkara itu. Kuasa hukum pemenang pilkada pun mengajukan keberatan dan meminta karung itu tak dibuka.

Hakim konstitusi yang menyidangkan perkara itu tetap meminta karung itu dibuka. Memang benar, di dalamnya terdapat amplop berisi uang Rp 50.000. ”Nanti, kami yang akan menilai,” kata hakim konstitusi Fadlil Sumadi, menanggapi keberatan pihak terkait yang menduga uang itu dimasukkan pemohon.

Cerita tentang pemberian para pasangan calon kepada rakyat pemilih beragam. Dari pemberian kain sarung di Kabupaten Simalungun atau Pesawaran, misalnya, bahan pangan/makanan pokok, peralatan sekolah, pembuatan fasilitas umum seperti lapangan sepak bola yang dibiayai calon, hingga yayasan pondok pesantren atau panti asuhan yang tiba-tiba tersengat bantuan nomplok.

Membeli suara masih juga dilakukan, semacam gerakan serangan fajar. Misalnya, calon mendatangi rumah dan membagikan uang Rp 50.000 seperti dikemukakan saksi dalam sidang perselisihan hasil pilkada Kabupaten Bandung.

Untuk calon yang petahana (atau calon yang masih memiliki hubungan dekat dengan petahana, seperti istri bupati), cerita mungkin sedikit bervariasi. Mereka bisa memanfaatkan program pemerintah daerah, seperti pembangunan jalan, bantuan warga miskin, bantuan korban banjir, kebijakan layanan publik, atau menggratiskan pembuatan KTP atau pajak bumi dan bangunan.

Cerita di atas adalah berbagai modus yang terungkap di persidangan MK. Hingga saat ini, MK telah menangani setidaknya 174 perkara. Sudah sering diakui, politik uang memang terjadi di hampir seluruh pilkada. Kalau pada 2010 ini terdapat 244 pilkada, maka hampir di seluruhnya terjadi praktik-praktik tersebut.

Modus baru

Ada modus baru yang terungkap di persidangan, yaitu penggunaan tim relawan. Beranggotakan puluhan hingga ratusan ribu orang, tim itu juga termasuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) di wilayah bersangkutan. Seperti terungkap dalam putusan MK untuk perkara sengketa pilkada Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Kalimantan Tengah, anggota tim relawan pasangan calon Sugianto-Eko Sugianto berjumlah 78.238 atau sekitar 62,09 persen dari total pemilih.

Relawan itu mendapat uang Rp 150.000-Rp 200.000. Dalam putusannya, MK membatalkan penetapan pasangan calon terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kobar.

Hampir serupa dengan di Kobar, MK pun memerintahkan pencoblosan ulang di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. MK menemukan adanya tim relawan yang berjumlah 122.560 orang dari pemilih 209.468 orang. Salah satu pasangan calon, Hidayat Batubara-H Dahlan Nasution, membagikan surat keputusan relawan senilai Rp 20.000 hingga Rp 100.000 kepada masyarakat selama proses pilkada.

Praktik politik uang yang masif semacam ini sungguh mengkhawatirkan. Setidaknya hal itu diungkapkan hakim konstitusi Hamdan Zoelva. Besarnya biaya untuk membeli suara pemilih tidak sebanding dengan penghasilan kepala daerah. Inilah yang kemudian memacu perilaku koruptif.

”Biaya kampanye tidak wajar. Seakan-akan untuk kampanye, tetapi ternyata untuk politik uang. Kadang sistematif, masif, dan terstruktur. Kalaupun terpilih, tentu mereka berpikir mengembalikan uang,” ujar Hamdan.

Lantas dari mana uang sedemikian besar yang harus dikeluarkan pasangan calon? Kalau itu berasal dari investor atau pengusaha, jelas Hamdan, hal itulah yang menumbuhsuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Pemilih emosional

Maraknya praktik politik uang dalam pilkada pun menarik perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Wakil Ketua KPK bidang Pencegahan Haryono Umar mengatakan, masyarakat kerap tidak mendapat informasi cukup sehingga ketika pemilihan digelar, tidak memilih secara rasional, tetapi secara emosional.

Mereka mudah diiming-imingi dengan bayaran atau hadiah. Akibatnya, untuk meraih dukungan mereka, calon tidak segan merangkul promotor guna memberi dukungan dana. Apalagi, menurut Haryono Umar, sistem pemilihan membutuhkan biaya sangat mahal. ”Kondisi politik kita harus dibenahi karena tidak baik untuk pemberantasan korupsi,” tutur dia.

Seorang calon, tuturnya, tidak hanya harus menyisihkan dana berkampanye, tetapi juga meminang partai pendukung. Maju dengan modal terbatas akan riskan, apalagi jika calon belum dikenal dan tidak memiliki catatan mengesankan.

Masuknya dana pendukung dari promotor diduga kuat akan berujung pada praktik korupsi. Di sisi lain, bagi petahana, penggunaan dana bantuan sosial serta dana hibah untuk mengikat konstituen juga perlu dicermati.

Apalagi pertanggungjawaban dana hibah dalam APBD itu kerap tidak jelas. ”Harus dicegah menyeluruh. Kami akan bicara khusus dengan Depdagri untuk meningkatkan kinerja dan pengelolaan keuangan daerah,” kata Haryono lagi.

Sekjen Transperancy International Indonesia (TII) Teten Masduki mengatakan, praktik jual-beli suara rakyat melalui tokoh dalam pilkada, bahkan pemilihan umum, merupakan fenomena perubahan dari era otoriter menjadi populer.

Yang mengkhawatirkan, praktik itu dahsyat terjadi. Pemenangan pilkada, tutur Teten, kerap semata-mata karena kekuatan uang, bukan program.

Implikasinya, tekanan tidak hanya menguat pada penggunaan dana publik, seperti dana hibah atau bantuan sosial, tetapi juga efek jangka panjang pada sumber keuangan daerah lainnya.

Apalagi pada saat bersamaan struktur politik tidak bekerja optimal. Ujungnya, kompromi dengan para penyandang dana melalui kontrak bisnis, pemberian izin lokasi dan dana hibah, hingga lahirnya program mercusuar dan bantuan sosial yang menyerap habis keuangan daerah demi popularitas petahana.

TII, ungkap Teten, akan membicarakan hal itu dengan Menteri Dalam Negeri. Selain itu, menurut Teten, salah satu solusi mereduksi praktik politik uang dan transaksi politik dalam pilkada adalah memperketat dana kampanye, memperkuat pendidikan politik, serta menegakkan pidana pemilu. Juga gagasan menyederhanakan sistem pemerintahan melalui penunjukan gubernur oleh presiden.

Secara terpisah, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengakui, persoalan korupsi oleh kepala daerah sebagai akibat mahalnya biaya pilkada langsung sedang hangat dibicarakan. Dia sampai diundang Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) untuk berbicara khusus mengenai masalah itu.

”Jadi, ini fenomena baru di negara kita. Dulu, sebelum reformasi, menjadi bupati/wali kota itu enak. Kalau tiga jalur (ABRI, birokrat, dan Golkar) setuju, tinggal tunggu pelantikan karena Golkar sangat kuat waktu itu. Kita hampir tidak memerlukan modal,” ujar Gamawan, yang juga mantan Bupati Solok, Sumatera Barat, dan Gubernur Sumbar. (ato/jos/ana)