Senin, 04 Oktober 2010

Malam Minggu Bersama Habib


  • Rohim, 19 tahun, dengan kopiah putih serta baju dan celana koko putih, mau menghabiskan malamnya bersama habib. Ia memang selalu ingin bersama habib, yang diyakini sebagai keturunan Rasulullah melalui putrinya, Fatimah az-Zahra, dan menantunya, Ali bin Abi Thalib. Di rumah, gambar sang habib yang berkacamata minus, berjubah, dan bersorban putih menghiasi pintu kamarnya. Di jalan, gambar habib yang sama menemani nya, melekat pada tangki bensin sepeda motornya.

    Senin malam terakhir sebelum Lebaran, dalam konvoi sepeda motor yang panjang, Rohim melesat cepat. Jaket hitam yang dikenakannya dengan sulaman benang emas Majelis Rasulullah pada punggungnya menyala di gelap malam. Duduk di belakangnya, Yakub, seorang anak tetangga sesama penduduk Jagakarsa yang masih seusia dengannya, memegang bendera hijau bertuliskan Majelis Rasulullah dalam aksara Arab.

    Jaket hitam, kopiah putih, dan bendera yang bergelombang gagah merupakan lambang identitas anak-anak muda yang melupakan hedonisme remajanya, seraya menghabiskan malam Selasa bersama habib. Dan harus diakui, ini juga merupakan simbol menyebalkan bagi pengemudi metromini dan ribuan komuter para penduduk Depok, Bogor, Cimanggis, dan sekitarnya yang telah lelah bekerja tapi harus berjuang menembus hiruk-pikuk jalanan ini.

    "Ngaji kok nyusahkan orang, dasaaar...," sopir metromini berlogat Jawa Timur memaki. Ia tak menyelesaikan kalimatnya, tapi meng injak gas dan rem silih berganti. Rohim, Yakub, dan kawan-kawannya tidak mengendarai sepeda motor secara ugal-ugalan. Tapi, seperti melihat pendukung kesebelasan lokal, Jakmania, yang bergerak berkelompok, sopir ini berusaha menghindari tiap benturan dengan anak-anak muda yang memacu sepeda motor sonder helm itu.

    Sang habib memang sosok populer. Gambarnya tampak di mana-mana: dari baliho yang mencolok berisi undangan pengajian di pinggir-pinggir jalan strategis, hingga dinding rumah penduduk yang bersembunyi di gang-gang sempit. Tidak memiliki majelis yang menetap awalnya, habib ini lalu mengandalkan sebuah masjid jami masjid yang biasa dipakai untuk sembahyang Jumat sebagai basis dakwah nya di Pancoran, Jakarta Selatan. Dan manakala pengikut majelis yang dibina sejak 1998 ini berkembang menjadi ribuan, puluhan, bahkan ratusan ribu orang, tidak bisa tidak terganggulah lalu lintas di daerah sepanjang masjid itu. Kendaraan padat merayap di jalan depan masjid, dua sisi, hingga satu kilometer. Area rumah toko di kanan-kiri masjid pun menjadi tempat parkir dadakan.

    Dia Habib Munzir bin Fuad al-Musawa. Usianya 37 tahun. Dakwah yang dulu dilakoninya secara bersahaja dari rumah ke rumah itu sekarang telah menjadi sebuah pohon besar yang bercabang banyak. Habib Munzir berceramah di sepanjang pantai utara dan pantai selatan Jawa, terus meluas ke Bali, Nusa Tenggara Barat, Papua, bahkan Singapura, Johor, dan Kuala Lumpur. Majelis Rasulullah sendiri mengisi acara bim bingan rohani di gedung-gedung perkantoran dan di stasiun-stasiun televisi. Sebuah kios didirikan persis di belakang Masjid Al-Munawar, menjual aneka aksesori Majelis Rasulullah.

    Belajar bahasa Arab dan kemudian syariah dari beberapa habib ternama yang menguasai bidang itu di Jakarta, Munzir mengikuti tradisi panjang para habib: belajar agama di Hadra maut. Hadramaut belakangan menjadi destinasi belajar agama yang memikat bagi para pelajar yang berasal dari Indonesia, karena Mekah sudah mengurangi jatah beasiswa bagi mahasiswa asing. Maka, di pesantren Darul Mustafa, Tarim, Hadramaut, di bawah bim bingan langsung Guru Besar Habib Umar bin Hafidz, ia mendalami ilmu fikih, tafsir Quran, ilmu hadis, sejarah, tauhid, tasawuf, dakwah, dan syariah.