Senin, 04 Oktober 2010

Merindu Cadas Tandus Hadramaut


SAYA sudah berkali-kali ke Hadramaut, tapi selalu tumbuh rasa rindu untuk kembali ke sana. Ada rasa yang sulit diungkapkan, hati terasa tenang dan tenteram ketika berada di sana.” Di usianya yang menjelang 70 tahun, Abdurrahman Alaydrus masih menyimpan harapan untuk kembali ke negeri di selatan Jazirah Arab itu. Ia masih ingat tiap sudut yang pernah dikunjungi dan dapat bercerita detail ihwal kota dan masyarakatnya.

Sedemikian indahkah Hadramaut sehingga menjadi tempat yang begitu diidamkan oleh pria berusia senja itu? Jangan bayangkan sebuah lembah hijau yang dibelah sungai jernih dan dipagari pegunungan dengan pepohonan yang hijau dalam bekapan udara sejuk, tempat yang biasa diidamkan banyak orang untuk menghabiskan masa tua. Bukan pula kota yang ramah bagi penduduknya, dengan fasilitas umum yang memanjakan warganya. ”Itu daerah yang tertinggal 50 tahun dibanding Indonesia,” katanya.

Dari namanya, yang memuat kata ”maut”, daerah ini memang tidak ramah bagi kehidupan di lingkungannya. Kawasan itu terdiri atas lembahlembah tandus, yang terpisah oleh cadas- cadas yang membentuk daerah fl at (plateau) di atasnya, dengan ketinggian mencapai 1.500 meter di atas permukaan laut. Di Hadramaut—yang kini menjadi provinsi paling luas, meli puti hampir sepertiga Republik Yaman— suhu bisa menembus 40 derajat Celsius.

Ada sejumlah versi mengenai asal nama Hadramaut. Ada yang mengatakan nama ini disebut dalam Injil, Hazarmaveth, yang berarti pengadilan kematian. Yang paling populer adalah versi yang menyebutkan nama itu merupakan julukan seorang panglima perang, Amar bin Qahtan. Ia dijuluki hadhara (datang) dan maut (maut) karena bila ia datang ke medan perang, pasti banyak nyawa yang melayang di ujung pedangnya.

Dalam bukunya, Hadrami Awakening, peneliti asal Australia, Natalie Mobini Kesheh, menggambarkan Hadra maut sebagai daerah yang keras. ”Curah hujan amat rendah dan tidak teratur. Dua hujan deras akan menandai periode tahun yang baik karena bisa jadi hujan tidak akan turun sampai satu hingga dua tahun berikutnya.” Pertanian hanya mungkin dilakukan di daerah lembah yang memiliki mata air bawah tanah. Itu pun perlu pompa berbahan bakar solar untuk mengangkat air ke permukaan tanah.

Bagaimanapun ”angker”-nya Hadramaut, tak sedikit pun semangat Abdurrahman Alaydrus berkurang untuk berkunjung, bahkan menetap lebih lama. Bagi warga Condet, Jakarta Timur, ini, Hadramaut adalah tanah leluhurnya. Sebab, dia merupakan keturunan Ahmad Isa al-Muhajir—keturunan Nabi Muhammad—yang hijrah dari Basrah, Irak, pada abad ke-10 Masehi. ”Leluhur saya berasal dari Tarim di Hadramaut,” ujarnya.

Hadramaut yang ganas memang telah mendorong penghuninya merantau. Karena itu, dalam bukunya yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Orang Arab di Nusantara, penasihat pemerintah Hindia Belanda, Lodewijk Willem Christiaan van den Berg (1845-1927), menyebutkan para perantau Arab tersebut tak lebih dari sekelompok orang yang berusaha melepaskan diri dari impitan hidup di negeri asal mereka. Mereka merantau untuk mencari keuntungan ekonomi sebagai pedagang.

Itu pendapat yang dinilai sinis, karena sejumlah sejarawan menyebutkan para perantau tersebut, terutama dari golongan habib—keturunan Nabi—juga mengemban misi dakwah. Menurut Ali Yahya, yang pernah meneliti para habib di Indonesia, Wali Songo adalah keturunan habib. Ia juga mengatakan Indonesia merupakan tempat transit utama bagi para imigran yang akan melanjutkan perjalanan ke negeri lain di Asia Tenggara.

Lebih dari sekadar tanah leluhur, bagi Abdurrahman, Hadramaut adalah tempat Islam menjadi napas keseharian warga. Di tiap kota, yang jalan-jalannya sepi menjelang sore, masjid-masjid selalu penuh oleh jemaah. Semua berpakaian rapat, bahkan hanya menyisakan mata yang terbuka. Tentu ini juga karena hawa panas dan embusan pasir.