Senin, 04 Oktober 2010

Negara Seakan Tidak Hadir

Negara seakan tidak hadir. Demikian penilaian Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, menggambarkan berlarut-larutnya berbagai kasus kekerasan di negeri ini. Penegakan hukum, yang diharapkan menjadi penyelesai konflik di masyarakat, justru memunculkan ketidakadilan.

Ketidakadilan itu bukan cuma terjadi pada perlakuan aparat penegak hukum kepada masyarakat dan penguasa/pengusaha, melainkan juga pada putusan pengadilan. Tidak sedikit rakyat kecil, yang terpaksa melakukan tindak pidana, dihukum lebih berat dibandingkan pelaku korupsi yang jelas merugikan negara.

Sosiolog hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII), Suparman Marzuki, dari Yogyakarta, Minggu (3/10), mengakui, maraknya kekerasan massa belakangan ini disebabkan akumulasi kekecewaan rakyat atas tidak berjalannya penegakan hukum formal. Orang lalu mencari jalan sendiri karena jalan hukum di negeri ini tak menyelesaikan persoalan. ”Jalan penyelesaian institusi penegakan hukum justru memunculkan masalah baru, ketidakadilan baru, kekerasan baru,” katanya.

Kekecewaan itu kian menumpuk karena selain mengalami ketidakadilan dalam bidang hukum, kata Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masdar Farid Mas’udi, rakyat juga didera kesulitan ekonomi. Tingkat pengangguran dan kemiskinan di negeri ini sampai kini masih tinggi. Masalah itu tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat, tetapi harus ada langkah nyata yang dilakukan pemerintah.

Bahkan, ketidakadilan itu semakin terasa jika sinyalemen dari Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto benar adanya. Saat berkunjung ke Redaksi Kompas, pekan lalu, Joyo memperkirakan 56 persen aset negeri ini dikuasai oleh hanya 0,2 persen penduduk. ”Data ini memang masih bisa dikaji lagi,” katanya saat itu.

Namun, BPN memang mencatat penguasaan petani terhadap lahan di negeri ini semakin merosot. Di sisi lain, ada 7,3 juta hektar tanah milik perusahaan yang justru ditelantarkan.

Kondisi ini, kata sosiolog William Chang, menimbulkan frustrasi sosial di masyarakat (Kompas, 1/10). Kondisinya kian memburuk karena penyelenggara negara bukan memperbaiki, malah berperilaku koruptif yang memperburuk keadaan.

”Pejabat publik yang koruptif, kotor, destruktif, dan tak memiliki komitmen memperjuangkan rakyat harus dicopot. Pemimpin harus tegas dan berani mengganti mereka dengan yang bersih, memiliki integritas, serta bersedia berkorban demi perbaikan bangsa,” imbuh William.

Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung mengakui, kekerasan yang terjadi belakangan ini disebabkan oleh keresahan di masyarakat. Faktor pemicunya amat beragam. ”Konflik tidak mungkin dihindari sehingga harus dikelola agar jangan sampai mengganggu sendi-sendi kehidupan bersama,” katanya.

Pertobatan elite

Mahfud mengaku heran kasus kekerasan di negeri ini bisa berlarut-larut. Ia mencontohkan sejumlah warga Ahmadiyah di Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang sampai kini masih mengungsi. ”Ini hak asasi orang. Bayangkan kalau Anda yang diperlakukan seperti itu, diusir dari rumah sendiri. Keluar takut. Seakan-akan negara tak ada di situ,” katanya.

Ia menduga berlarut-larutnya penanganan kekerasan di masyarakat dikarenakan tak adanya ketegasan aparat penegak hukum, padahal aturannya jelas.

Marzuki meminta pemerintah membenahi institusi penegakan hukum, seperti Kejaksaan dan Polri, serta kultur di dalamnya. Polri sebagai gerbang peradilan pidana masih didominasi kultur militeristik dan kekuasaan.

”Transformasi kultural polisi sangat lamban. Semua persoalan diatasi dengan kekerasan, dengan cara menangkap dan membungkam. Hal semacam ini harus dibenahi. Penyelesaian harus dengan memerhatikan konteks dan variabelnya,” katanya.

Sebaliknya, Masdar menilai penegakan hukum dan pertobatan elite dari perilaku yang melukai hati rakyat menjadi solusi jangka pendek yang harus segera dilakukan untuk mengatasi kekerasan akhir-akhir ini. Tanpa kedua hal itu, dikhawatirkan rakyat makin frustrasi sehingga kekerasan meluas dan sulit diatasi.

Menurut Masdar, akar kekerasan yang merebak akhir-akhir ini ada tiga hal, meliputi kesulitan ekonomi yang makin mengimpit rakyat, melemahnya keteladanan dari elite, serta penegakan hukum yang lemah.

”Ketika sebagian rakyat hidup susah, pada saat yang sama rakyat justru melihat banyak pejabat menyalahgunakan wewenang, korupsi, dan memperkaya dirinya, tanpa memerhatikan rakyat yang seharusnya dilayani. Ini diperparah dengan penegakan hukum yang lemah dan melukai rasa keadilan rakyat,” katanya.

Untuk mengatasi masalah itu, butuh usaha keras dari berbagai pihak dan waktu lama. Karena itu, yang paling bisa segera dilakukan adalah menindak tegas pelaku kerusuhan dan perubahan watak kepemimpinan di antara elite bangsa. Semua elite politik dan pemerintahan memperbaiki diri dengan pertobatan nasional.

”Semua pejabat publik harus beristigfar dan bertobat. Sadar hidup ini tak selamanya. Mereka harus menyadari, Tuhan yang mereka sebut-sebut dalam sumpah dan janji akan meminta pertanggungjawaban,” kata Masdar.

Ia mengingatkan lagi, ”Pejabat publik diberi kewenangan dan digaji oleh rakyat bukan untuk membohongi dan melukai hati rakyat. Mereka harus melindungi hak dan melayani rakyat.”

Senada, William pun mengatakan, ”Perlu dilakukan pembersihan total pejabat di tingkat pusat hingga daerah. Penduduk Indonesia lebih dari 230 juta jiwa dan banyak putra bangsa yang bersih dan memiliki integritas.”

Kesejahteraan rakyat

Ketua DPR Marzuki Alie mengajak pemerintah, dunia usaha, dan komponen bangsa lainnya bersama DPR dan lembaga lainnya mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat. Itu penting untuk mencegah terjadi frustrasi sosial di masyarakat dan menghilangkan kekerasan yang merebak selama ini.

Kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan dengan perbaikan ekonomi dengan penciptaan sebanyak-banyaknya lapangan kerja dan penegakan hukum. ”Sekarang adalah bagaimana mempercepat tercapainya kesejahteraan rakyat dengan mengatasi kemiskinan dan meminimalisasi pengangguran. Tak ada cara lain kecuali meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar-besarnya dengan diikuti pemerataan yang adil-adilnya,” kata Marzuki Alie.

Menurut Marzuki Alie, hal itu bukan hanya kewajiban pemerintah dan DPR, melainkan juga tanggung jawab dunia usaha dan masyarakat lainnya, apalagi selama ini masih banyak potensi bangsa, termasuk kaum muda, yang terabaikan. (ato/nwo/ana/har/why/tra)