Selasa, 05 Oktober 2010

Pencalonan Kapolri


Mungkin hanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang bisa menjelaskan, mengapa pilihan akhir calon Kapolri jatuh kepada Komjen Timur Pradopo. Selebihnya, hanya bisa menduga dan menganalisis.

Keluarnya nama Timur cukup mengejutkan. Dalam sebulan terakhir, Komjen Imam Sudjarwo dan Komjen Nanan Soekarna—yang diajukan Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri—disebut sebagai kandidat kuat.

Sehari sebelum Presiden menyerahkan nama calon Kapolri ke DPR, nama Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Ito Sumardi malah dikabarkan akan menjadi pilihan akhir Presiden.

Menjelang Senin (4/10/2010) siang, spekulasi kembali berubah. "Angin" berhembus ke arah "Timur". Paling tidak, itu yang dituliskan Wakil Ketua DPR, Pramono Anung dalam akun Twitter-nya.

Dalam hitungan jam pula, Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal (Irjen) Timur Pradopo dimutasi dan mendapat kenaikan pangkat menjadi Komisaris Jenderal. Dia menjabat Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Mabes Polri. Pemutasian Timur memunculkan dugaan baru, dia akan menjadi "kuda hitam" yang akhirnya dipilih Presiden SBY.

Jawaban menjadi nyata saat Ketua DPR Marzuki Alie menyampaikan secara resmi bahwa Presiden mengajukan Timur sebagai calon tunggal Kapolri berdasarkan surat Presiden yang diterima sekitar pukul 19.15.

Lalu, mengapa Timur? Lagi-lagi, hanya Presiden yang bisa menjawabnya. Seorang sumber menyebutkan, semula pilihan sudah jatuh pada Nanan. Sosok Nanan, yang menjabat Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri dinilai layak menjadi Polri-1. Namun, kabar bahwa Nanan melakukan "safari politik" ke sejumlah partai menggoyahkan pilihan Presiden.

Mengapa bukan Imam? Ramainya pemberitaan mengenai hubungan kekerabatan Imam dengan keluarga Presiden ternyata cukup mengusik. Hingga akhirnya muncul nama Ito. Namun, menurut sumber pula, ada elite Polri yang tak happy dengan sosok Ito.

Wakil Ketua Komisi III Tjatur Sapto Edy memiliki analisis lain. Menurut dia, Timur merupakan pilihan tepat untuk meredam friksi antar-angkatan di internal Polri. Munculnya nama Nanan (angkatan 1978) dan Imam (angkatan 1980), kata Tjatur, menimbulkan konflik antar-angkatan.

Timur, meski berasal dari angkatan yang sama dengan Nanan, dianggap lebih moderat dan bisa diterima internal Polri. "Kalau Pak Ito, Pak Imam, Pak Nanan, ada resistensi di internal Polri. Pak Timur relatif bisa diterima secara legowo oleh Polri," kata Tjatur saat dihubungi wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Senin malam.

Sebaliknya, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso berpandangan, tak ada yang mengejutkan dari pilihan Presiden terhadap Timur Pradopo. Timur, dalam kalkulasi DPR, masuk dalam bursa kuat calon Kapolri. Dia bahkan memprediksi, langkah Timur dalam uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR akan berjalan mulus.

"Dengan track record (rekam jejak) yang jelas, saya melihat Pak Timur tidak akan menghadapi halangan, mulus. Figurnya kelihatannya akan mudah diterima oleh DPR. Saya justru khawatir kalau Presiden kirim nama yang tidak disangka," ujar Priyo.

Berubahnya haluan "angin" ke arah Timur di saat-saat akhir dibantah Priyo karena adanya tawar-menawar politik antara kekuatan-kekuatan yang ada di lingkaran koalisi.

"Soal Kapolri kan hak prerogatif Presiden. Jangan dikaitkan dengan tarik-menarik kepentingan," katanya.

Sejumlah anggota Komisi III masih mempertanyakan alasan pilihan Presiden. Nasir Djamil mengharapkan, Presiden bisa menjelaskan alasan atas pilihannya tersebut. Timur juga harus mampu menjawab keraguan publik atas kepemimpinannya selama menjabat Kapolda Metro Jaya.

Pekan lalu, Ibu Kota dikagetkan dengan kasus bentrokan massa yang menelan tiga korban meninggal di kawasan Ampera, Jakarta Selatan. Belum lagi konflik di Ciketing, hingga catatan masa lalu Timur yang kembali diungkit, saat tragedi 1998, dia menjabat sebagai Kapolres Jakarta Barat.